kursor berjalan

Sabtu, 01 Desember 2012

KAPITALISME PENDIDIKAN

Oleh:
Indria Retna Mutiar

PENGANTAR
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan individu dalam merealisasikan bakat-bakatnya. Pendidikan bukan saja mengarah pada pemahaman ilmu pengetahuan, namun pendidikan juga berperan sebagai penyalur nilai-nilai. Sehingga di dalam proses pembelajaran harus mengarah pada tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut harus berjalan seimbang, karena peserta didik bukanlah robot ciptaan manusia yang dibentuk dan diciptakan hanya untuk memenuhi/mengikuti pemiliknya. Di sini, peserta didik dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan potensinya, sehingga bakat yang ada di tiap-tiap individu dapat terealisasikan melalui pendidikan.
Di dalam pendidikan tentunya memiliki aturan-aturan dan nilai-nilai, aturan dan nilai-nilai ini bertujuan sebagai pedoman di dalam pelaksanaan pembelajaran agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Aturan dan nilai-nilai ini termuat di dalam kurikulum, di mana di dalam kurikulum mencakup rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi yang direncanakan sebagai pedoman dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi kurikulum merupakan kerangka awal dalam proses pembelajaran.
Apabila kita amati dan analisis film gambaran kota jakarta dan perkembangannya, pendidikan yang terlihat sekarang mengalami ketidaksesuaian. Di mana, peran pendidikan yang semula hanya sebagai penyalur bakat-bakat individu, kini menjadi sebuah lembaga yang menciptakan individu kapitalis. Pendidikan mengarah pada kapitalisme, menciptakan manusia-manusia produktif dan mengesampingkan hal-hal kecil yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Membentuk individu yang mampu bersaing di dunia kerja, sehingga pendidikan menekankan pada aspek pengetahuan dan kemampuan (skill) saja, tanpa diimbangi dengan penanaman moral yang mengarah pada pembentukan pribadi yang religius dan berakhlak mulia. Telah banyak contoh yang terjadi, misalnya saja pada kasus tawuran antarpelajar SMA yang terjadi di kota-kota. Ini terlihat jelas bahwa pendidikan tidak mampu membentuk peserta didik menjadi pribadi yang bermoral dan berakhlak mulia, karena pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Sehingga mereka lebih menekankan pada hasil bukan pada prosesnya.
Pembentukan kurikulum mengacu pada keberhasilan pendidikan, yang jadi masalah adalah keberhasilan pendidikan yang seperti apa yang ingin dicapai? Di sini, demi menjamin kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara sentralistik, sehingga kurikulum yang digunakan harus setara, artinya tidak adanya ketimpangan-ketimpangan didalamnya. Seperti dalam kurikulum 2004, guru diberikan kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah.  Terlihat jelas bahwa kurikulum harus mempunyai prinsip kesetaraan dan kebebasan. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu. Praktek pendidikan yang terjadi justru semakin mengarah pada kesenjangan, di mana kurikulum yang ada tidak disesuaikan dengan kondisi sekolah dan daerah. Pendidikan menciptakan manusia robot yang memiliki pengetahuan dan skill, membentuk lulusan yang dapat menopang kapitalisme dengan diarahkan memiliki pengetahuan dan keahlian.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang “Kapitalisme Pendidikan” mengacu pada analisis penulis terhadap film yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Di dalam kapitalisme pendidikan ini, pendidikan bukan hanya tempat penyalur bakat-bakat individu. Namun, pendidikan merupakan ajang kontestasi untuk menciptakan individu-individu yang mampu bersaing di pasar industri, tentu di sini adanya campur tangan dari penguasa. Mengacu pada kurikulum yang ada, pendidikan juga tidak menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Tetapi, pendidikan di arahkan pada pembentukan individu-individu yang produktif, dapat bersaing dengan dunia luar dan di jadikan sebagai saluran  untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Di sini, penulis menggunakan perspektif konflik Karl Marx sebagai analisis di dalam tulisan ini. Tulisan ini akan disajikan dalam tiga bagian. Pertama, pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan pokok dan tujuan penulisan. Kedua, pembahasan yang di awali dengan mendeskripsikan sekilas tentang wajah lain dari pendidikan yang ada di indonesia, memaparkan kontestasi pendidikan sebagai bentuk dari adanya kapitalisme. Ketiga, penutup  yaitu mencakup kesimpulan dari penulisan yang berjudul Kapitalisme Pendidikan.

PEMBAHASAN
Wajah Lain Pendidikan
Perkembangan industri yang dirasakan sekarang semakin melanda negara kita. Banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang mendirikan/mengembangkan bisnisnya disini. Pembangunan-pembangunan memadati kota-kota, mulai dari pembangunan pabrik-pabrik industri, mall-mall, apartemen dan masih banyak yang lainnya. Namun, disisi lain pembangunan-pembangunan ini menciptakan banyak masalah, seperti sulitnya menemukan lahan kosong untuk tempat tinggal, menciptakan masyarakat yang konsumtif, pembangunan tidak melihat kondisi geografis yang ada, sehingga kota-kota yang dipadati pembangunan-pembangunan tersebut menjadi gersang.
Di sisi lain kemewahan-kemewahan yang terdapat diperkotaan menyulitkan masyarakat miskin yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh. Tempat tinggal yang padat penduduk semakin terpinggirkan, tidak sedikit terkadang pemukiman mereka di bongkar paksa demi kepentingan kaum kapitalis. Kapitalisme merupakan sistem kekuasaan, bahwa kekuasaan-kekuasaan politis telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi.  Adanya kekuasaan di dalamnya, kepentingan-kepentingan penguasa lah yang mendominasi. Pendidikan pun tidak mampu membenahi kerusakan-kerusakan yang terjadi. Namun, pendidikan semakin mengarah pada pembentukan individu-individu kapitalis. Ini berarti ada ketidaksesuaian dengan tujuan pendidikan. Kurikulum di ciptakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Namun, kurikulum yang dirasa sekarang mengarah pada pembentukan individu-individu yang memiliki pengetahuan dan keahlian, tetapi tidak memiliki kepekaan sosial.Dalam hal ini, seharusnya peran pendidikan dapat menciptakan individu-individu yang peka terhadap kondisi sosial daerahnya. Pendidikan bukan menciptakan peserta didik  terasing dari derahnya sendiri, tetapi pendidikan harus mampu menjadi tempat penyaluran bakat-bakat dan mengembangkannya. Sehingga peserta didik dapat memahami kondisi yang ada di lingkungan sekitarnya. Pembangunan bukanlah hanya sekedar pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan Sumber Daya Manusia yang religius, berakhlak mulia dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Kontestasi Pendidikan
Kontestasi pendidikan merupakan bentuk dari kapitalisme, di mana didalam kontestasi pendidikan, pendidikan tidak lagi menekankan pada proses pembelajaran, tetapi lebih menekankan pada hasilnya. Di dalam pendidikan, peserta didik bukan hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan tetapi seharusnya pendidikan menjadi media transformasi nilai-nilai. Dalam kontestasi pendidikan seringkali mengabaikan hal-hal tersebut, persaingan sering diartikan sebagai suatu perlombaan dalam mencapai keberhasilan tanpa menghiraukan proses. Apabila kita kaitkan dengan kurikulum, pendidikan harus mengarah pada kesetaraan, namun pada prakteknya banyak ketimpangan-ketimpangan di dalamnya. Meskipun sudah adanya otonomi di dalam menentukan pembelajaran tetapi tetap tidak sesuai yang diharapkan. Peserta didik hanya dicekoki dengan materi-materi yang ada, yang mengarah pada pengetahuan dan keahlian. Minimnya materi-materi muatan lokal dan pengembangan kepribadian. Sehingga pendidikan hanya menciptakan individu yang “pintar” namun tidak peka pada lingkungan sosial.
Seperti yang tergambar di film yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini, yaitu gambaran dari kota jakarta. Jakarta merupakan kota yang padat penduduk, berbagai kalangan ada di dalmnya. Unsur-unsur budaya pun berbaur dan menjadi satu. Pendidikan tidak mampu membenahi kota jakarta yang semakin hari semakin mengarah pada kerusakan. Anak-anak menjadi terasingkan di kotanya sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membenahi kotanya sendiri. Padahal, seharusnya pendidikan dapat menciptakan individu-individu yang terampil dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Ini berarti terdapat ketidaksesuaian/tidak berjalannya fungsi dari ketiga aspek di atas (kognitif, afektif, psikomotorik). Hasil dari pendidikan menciptakan individu-individu yang produktif, yang mengarah pada kapitalisme. Hal ini dapat terlihat dari keberadaan pasar-pasar industri yang ada di jakarta. Bangunan-bangunan yang semakin meningkat, namun semua ini tidak dapat menanggulangi kemiskinan yang ada di dalamnya. Pendidikan hanya menciptakan individu yang mampu bersaing untuk membangun saluran-saluran kapitalisme. Seperti yang dikemukakan oleh Marx, bahwa kurikulum diciptakan untuk industrialisasi tetap berjalan merupakan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme, yang tentunya ada kepentingan-kepentingan penguasa di dalamnya.

KESIMPULAN
Dari pemaparan-pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan memiliki wajah lain. Pendidikan bukan hanya sebagai penyalur bakat-bakat/potensi peserta didik, namun pendidikan juga membentuk peserta didik menjadi manusia yang produktif, dengan mengutamakan pengetahuan dan keahlian, serta terdapat kontestasi di dalamnya. Kontestasi di sini mengarah pada kapitalisme, seperti yang di kemukakan oleh Karl Marx, bahwa kurikulum diciptakan untuk industrialisasi tetap berjalan merupakan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Jadi dengan adanya kurikulum yang menekankan pada kontestasi, menciptakan peserta didik yang hanya menekankan pada pengetahuan dan keahlian agar berkompeten di dunia kerja, hal ini merupakan bentuk dari kapitalisasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA


Sumber Bacaan:
Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi:Edisi ke-7. Jakarta: Kreasi Wacana.

Sumber Bacaan Lain:




Minggu, 07 Oktober 2012

PENDIDIKAN SAAT INI

Oleh:
Indria Retna Mutiar

Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, karena dengan pendidikan bakat-bakat yang dimiliki individu dapat terealisasikan. Pada saat ini, pendidikan bertumpu pada pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik. Tujuannya adalah, agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan keterampilan bukan hanya dalam pengetahuannya saja (kognitif).
Kondisi yang dirasa saat ini, khususnya di dunia pendidikan sangatlah pesat. Terlebih lagi dengan munculnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Ini membuktikan bahwa pendidikan di indonesia mengalami kemajuan. Namun kemajuan ini seharusnya diimbangi dengan kemerataan dalam mengakses pendidikan. Maksudnya adalah, bahwa pendidikan harus dapat dirasakan oleh seluruh warga negara indonesia tanpa terkecuali. Tetapi pada kenyataannya, pendidikan menjadi terstratifikasi dengan adanya pengelompokan-pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan peserta didik. Namun menurut saya, pengelompokan itu lebih cenderung pada pengelompokan status sosial, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah bertaraf internasional, dengan kemewahan yang dimiliki dan fasilitas yang memadai.
Menurut saya, pendidikan saat ini cukup pesat persaingannya, baik dalam segi kemampuan akademik maupun dalam materi. Pendidikan yang berkualitas dengan sarana dan prasarana yang memadai hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Ini menjadi tidak adil bagi kalangan status sosial menengah ke bawah, padahal mereka memiliki hak yang sama di dalam mengenyam pendidikan. Seperti yang tercantum di dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, kemudian pada ayat 2 di tegaskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Namun pada kenyataannya, banyak yang tidak dapat mengakses pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil dengan kondisi status sosial masyarakatnya rendah.
Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan bakat-bakat yang dimiliki individu, namun tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa pendidikan juga sebagai ajang dalam persaingan di dunia kerja. Sulitnya mencari pekerjaan menyebabkan membludaknya pengangguran. Seperti yang terlihat sekarang, kantor-kantor ataupun perusahaan sangatlah selektif dalam memilih karyawan/wati. Tentu ini tidak sepenuhnya salah perusahaan, karena setiap perusahaan tentu menginginkan karyawan/wati yang handal, bukan saja memiliki kemampuan di bidang akademik, tetapi juga memiliki skill sesuai dengan bidang yang digelutinya. Dalam hal ini pendidikan juga dapat menempatkan seseorang pada status sosial tertentu. Contohnya saja dalam sebuah kantor yang memiliki karyawan dengan latar belakang pendidikan S1 dengan lulusan SMA, tentu akan berbeda penempatannya. Disini, sudah jelas bahwa pendidikan juga merupakan salah satu alat dalam peningkatan status sosial seseorang.
Dari pemaparan-pemaparan di atas, jelas bahwa pendidikan bukan saja suatu tuntutan di dalam kehidupan, tetapi juga merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang mau mengembangkan potensinya. Pendidikan juga merupakan penentu status sosial seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang maka status sosialnya akan menempati posisi yang tinggi pula.

Sabtu, 01 September 2012

SEMUA AKAN KEMBALI PADA-MU


Ayah.. apakah aku sedang bermimpi sekarang?
Aku berharap ini hanya mimpi..
Ayah.. aku belum bisa jadi anak kebanggaanmu..
Masih banyak hal yang belum bisa aku lakukan untukmu ayah..
Ayah.. apa kau mendengarkan perkataanku? Apa kau melihat ku?
Aku hanya berharap ini “hanya mimpi”
Oh... ayah... bangun ayah.. bangun...
Ini hanya mimpi... ini hanya mimpi...
Tapi apa yang aku lihat.. ternyata ini bukan mimpi, ini kenyataan yang aku hadapi sekarang. Aku terus mencubit pipi ku, lengan ku, berkali-kali aku cubit. Berharap apa yang aku lihat, apa yang ada di hadapan ku ini hanya bunga tidur ku. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Ini bukan mimpi !!! Ini kenyataan !!!
Ayah....ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya. Tapi, sepertinya ayah tidak mendengar, ayah membujur kaku dihadapanku. Tak terasa air mata ku berjatuhan. Sesungguhnya Engkau yang berkuasa atas apa yang ada di langit dan bumi. Namun, aku hanya manusia biasa yang memiliki rasa. Salahkah apabila aku merasa tidak adil? Salahkah apabila aku menyesal? Ya, aku menyesal.. menyesal karena aku tak memanfaatkan waktu ku untuk bersama ayah..
Oh... ini sebuah penyesalan, yang tak akan bisa terulang ke masa-masa itu. Walau menangis sekencang-kencangnya pun, ini tidak akan merubah takdir Engkau ya Allah, sang pencipta langit, bumi dan seluruh isinya.
Andai saja aku mengetahui rahasia-Mu, aku ingin selalu berada di dekat ayah, aku tak mau jauh dari ayah, aku ingin menjadi kebanggaan mu ayah..
Tapi semuanya sudah terlambat, ayah telah dipanggil Engkau ya Allah..
Aku yakin, Engkau menyayangi ayah ku, sehingga Engkau memanggil ayah untuk menghadap-Mu.
*Dikutip dari cerita sahabat

Minggu, 26 Agustus 2012

Seni Pertunjukan Wayang: Tradisi yang Terlupakan dan Tersisihkan


(Studi kasus di komunitas Desa Tempel RT 005/02 Kecamatan Lelea; Indramayu-Jawa Barat)
Oleh:
Indria Retna Mutiar[1]
(Pendidikan Sosiologi Nonreg 2010, 4815107123)

Abstrak
Tulisan ini hendak mengkaji tentang seni pertunjukan wayang yang semakin terlupakan dan tersisihkan keberadaannya. Dalam pengamatan dan analisis ini, penulis mengambil studi kasus di komunitas Desa Tempel RT 005/02 ini. Di komunitas Desa Tempel ini pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu tradisi yang dianggap sakral, selain itu pertunjukan wayang kulit juga merupakan kesenian serta adat istiadat masyarakat setempat. Pertunjukan wayang digelar pada acara sedekah bumi. Sedekah bumi merupakan tradisi yang ada di Desa Tempel. Dahulu, pertunjukan wayang sangat diminati, baik oleh kalangan orang tua maupun anak mudanya. Namun, seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pertunjukan wayang sudah jarang diminati. Terlebih lagi oleh kalangan anak muda di komunitas desa tersebut. Maksud pengamatan dan analisis ini adalah bagaimana tradisi  pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa Tempel dalam acara sedekah bumi, apa makna pertunjukan wayang kulit bagi masyarakat setempat, serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan lunturnya minat  generasi muda dalam pertunjukan wayang kulit. Untuk itu, penulis melakukan sebuah pengamatan dan analisis sederhana dengan mendeskripsikan situasi dan kondisi yang diperoleh di lapangan. Dari pengamatan dan analisis ini, penulis menarik kesimpulan bahwa pertunjukan wayang kulit dianggap sebagai pertunjukan yang kuno, selain itu banyaknya tontonan-tontonan lain yang lebih menarik, serta jarangnya stasiun televisi dalam menayangkan pertunjukan wayang. Hal ini dapat melunturkan minat generasi muda untuk menonton pertunjukan wayang yang menjadi tradisi pada komunitas desa tersebut.

PENGANTAR
Indonesia adalah Negara yang kaya, bukan hanya kaya akan Sumber Daya Alam saja  tetapi juga budayanya, sehingga masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat beragam budaya yang khas, kekhasan tersebut terletak dalam hal cara menyikapi keberagaman budaya.[2] Keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadi ciri khas dari masyarakat Indonesia. Setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki budaya dan tradisi masing-masing, itu sebabnya kita sebagai Warga Negara Indonesia harus menjaga dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada.
Berbagai kebudayaan dan kesenian yang ada di Indonesia, seperti dalam seni artistik, misalnya, kerajinan batik, seni drama, seni pertunjukan wayang dan masih banyak yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa mayarakat Indonesia memiliki keanekaragam budaya. Dalam penulisan ini, penulis mencoba mengkaji tentang seni pertunjukan wayang kulit, khususnya tradisi pertunjukan wayang kulit pada komunitas Desa Tempel RT 005/02, kecamatan Lelea; Indramayu-Jawa Barat. Tradisi pertunjukan wayang ini merupakan salah satu tradisi masyarakat setempat yang masih dipercayai sebagai seni pertunjukan yang sakral. Semula, tradisi pertunjukan wayang ini banyak diminati, baik oleh orang tua maupun oleh kalangan anak mudanya. Namun, seiring perkembangan teknologi yang kian dirasakan, pertunjukan wayang sudah jarang diminati, terlebih lagi oleh kalangan anak muda. Banyaknya tontonan televisi yang menyajikan berbagai acara dan hiburan, sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor lunturnya minat nonton masyarakat, khususnya anak-anak mudanya. Dalam hal ini, seni pertunjukan wayang yang ada di Indonesia, khususnya saat ini mengalami pergeseran, baik dilihat dari minat penontonnya (konsumen), juga dalam produksinya, khususnya stasiun-stasiun televisi yang jarang memproduksi pertunjukan wayang tersebut.
Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kesenian yang ada di Indonesia. Wayang memiliki banyak jenis, apabila dilihat dari bahan pembuatannya, wayang dapat dikelompokan menjadi wayang kulit, wayang golek, wayang orang, wayang logam, wayang kertas, wayang rumput dan wayang kain. Selain itu, apabila dilihat dari tempat pertumbuhan, komunitas pendukung, gaya bahasa, dan tradisi pertunjukannya, wayang dapat digolongkan menjadi: wayang Palembang, wayang Tambun, wayang Sunda, wayang Jawa, wayang Banjar, wayang Bali, wayang Madura, dan wayang Lombok (Sasak).[3] Beberapa jenis wayang tersebut tumbuh dan berkembang di Indonesia. Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi pun semakin berkembang, seni pertunjukan wayang sudah jarang terlihat di televisi. Ini menjadi perhatian penulis, mengapa perkembangan dan kemajuan teknologi berpengaruh pada terkikisnya pertunjukan wayang di Indonesia? Apakah budaya asing berpengaruh terhadap lunturnya pertunjukan wayang di stasiun-stasiun televisi?
Tulisan ini akan disajikan dalam enam bagian. Pertama, pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan pokok dan tujuan penulisan. Kedua, mendeskripsikan sekilas tentang masyarakat Desa Tempel. Ketiga, menjelaskan tentang seni pertunjukan wayang kulit sebagai tradisi masyarakat setempat. Keempat, menjelaskan tentang televisi yang menyajikan banyak hiburan. Kelima, memaparkan tentang polemik lunturnya seni pertunjukan wayang. Keenam, penutup yaitu mencakup kesimpulan dari penulisan paper “Seni Pertunjukan Wayang: Tradisi yang Terlupakan dan Tersisihkan” yang terjadi di masyarakat Desa Tempel RT 005/02.

DESKRIPSI WILAYAH DESA TEMPEL RT 005/02
Sekilas Tentang Masyarakat Desa Tempel
Desa tempel berasal dari kata “nempel” yang artinya melekat. Nama ini diberikan oleh Ki Buyut Srukun. Menurut salah satu informan, Ki Buyut Srukun ini adalah orang yang memberi nama sekaligus orang pertama yang tinggal di desa tempel ini[4].
Desa tempel berada pada kondisi yang strategis untuk lahan pertanian, sehingga penduduknya sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Luas wilayah Desa Tempel seluruhnya sekitar 545 Ha, terdiri dari: Pertanian sekitar 450 Ha, selebihnya merupakan rumah penduduk dan pekarangan/tanah kosong. Pada tahun 1996-an masyarakat Desa Tempel RT 005/02 didominasi oleh sektor pertanian, sekitar 85% masyarakatnya adalah petani. Biasanya setiap panen padi, masyarakat desa ini mengadakan tradisi yang namanya “Sedekah Bumi” yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang di dapat. Salah satu bagian dari tradisi ini, yaitu dengan menggelar pertunjukan wayang kulit.
Desa Tempel merupakan desa yang cukup jauh dari jalan raya, ini menjadi salah satu faktor sulitnya jangkauan teknologi dan informasi. Selain itu, masyarakatnya merupakan kalangan ekonomi bawah, sehingga sebagian besar masyarakatnya belum terkontaminasi oleh nilai-nilai modern. Dahulu, media yang dapat diakses pada saat itu hanya radio dan televisi hitam putih yang masih menggunakan akumulator, itu pun hanya beberapa rumah saja yang memilikinya. Kemudian pada tahun 1997, listrik masuk ke desa tersebut. Namun pada saat itu hanya beberapa rumah saja yang beralih dari “obor” ke listrik, mengingat banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memasang listrik di rumahnya.
Desa Tempel masih sarat akan tradisi-tradisi yang dibawa nenek moyang, salah satunya yaitu tradisi pertunjukan wayang kulit. Tradisi pertunjukan wayang kulit ini biasanya digelar setelah panen padi. Tradisi ini berlangsung cukup lama, karena sampai sekarang tradisi pertunjukann wayang kulit masih rutin diselenggarakan oleh masyarakat setempat. Kesenian yang bercampur dengan kepercayaan masyarakat terhadap tradisi tersebut menjadi salah satu masih bertahannya pertunjukan wayang tersebut. Namun, kebertahanan dari tradisi ini tidaklah sama dengan minat dari generasi mudanya, karena pada saat ini pertunjukan wayang kulit hanya menjadi tradisi dan simbolis, bahwa masyarakat masih meneruskan tradisi nenek moyang.

Seni Pertunjukan Wayang Kulit Sebagai Tradisi Masyarakat Setempat
Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang memiliki beranekaragam budaya, begitu pula di Desa Tempel yang memiliki budaya-budaya khas. Salah satu tradisi yang khas di desa tersebut yaitu sedekah bumi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, sedekah bumi merupakan tradisi yang tumbuh dan berkembang di Desa Tempel. Tradisi ini merupakan suatu bentuk rasa syukur atas hasil panen padi. Hal yang paling khas dari tradisi ini adalah pertunjukan wayang kulit. Dalam tradisi sedekah bumi ini, pertunjukan wayang kulit merupakan suatu kesenian yang bersifat sakral dan juga merupakan adat istiadat masyarakat setempat.
Makna dari sedekah bumi ini adalah bentuk rasa syukur atas berhasilnya panen padi masyarakat setempat. Tradisi ini merupakan percampuran dua kepercayaan, yaitu agama Hindu dan Budha, sebelum islam masuk, agama Hindu-Budha telah tersebar terlebih dahulu. Tradisi-tradisi yang turun-temurun dari nenek moyang ini sangat dipercayai keberadaannya. Menurut kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat, sedekah bumi yang di dalamnya menggelar pertunjukan wayang kulit ini wajib untuk diselenggarakan setiap tahunnya, karena apabila tidak dilaksanakan maka akan terjadi malapetaka/gagal panen dikemudian hari. Hal ini yang masih dipercayai oleh masyarakat setempat. Walaupun saat ini masyarakatnya sebagian besar beragama islam, namun karena menghormati warisan leluhur, sehingga sedekah bumi masih diadakan.
 Seni pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa Tempel merupakan bentuk seni budaya warisan nenek moyang yang sampai sekarang di lestarikan. Namun, seiring perkembangan zaman tradisi pertunjukan wayang semakin tersisihkan oleh nilai-nilai modern. Dahulu, tradisi pertunjukan wayang kulit ini banyak diminati oleh masyarakat setempat, karena pada waktu itu masyarakatnya masih kental akan nilai-nilai budaya yang ada, sehingga pertunjukan wayang menjadi sebuah pertunjukan yang sulit untuk ditinggalkan. Namun, sekarang nilai-nilai tradisional telah luntur tergantikan oleh nilai-nilai modern. Modernisasi pada masyarakat setempat dapat terlihat dari kalangan anak muda yang sudah tidak mau mengenal tradisi dan budayanya sendiri. Kebanyakan kalangan anak-anak muda menganggap seni pertunjukan wayang kulit sebagai pertunjukan/tontonan yang kuno dan ketinggalan zaman. Hal ini yang menjadikan pertunjukan wayang tersisihkan oleh nilai-nilai modern. Seperti pendapat Huntington, ia menyatakan bahwa teori modernisasi melihat “modern” dan “tradisional” sebagai dua konsep yang pada dasarnya bertentangan (asimetris). Dalam hal ini teori modernisasi menguraikan secara rinci apa yang menjadi karakteristik masyarakat modern, sementara ciri masyarakat tradisional terlupakan untuk dibahas.[5] Ini juga terjadi pada kalangan anak-anak muda di desa tersebut, seperti yang tadi dipaparkan bahwa tradisi pertunjukan wayang kulit sampai saat ini masih bertahan, namun terjadi pergeseran/lunturnya minat generasi muda dalam melihat pertunjukan wayang kulit tersebut.
Tradisi memang tidak lepas dari nilai-nilai yang ada di dalam suatu masyarakat. Seperti tradisi pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa Tempel. Tradisi pertunjukan wayang kulit ini dilakukan satu kali dalam setahun, perbedaannya hanya terletak pada respon masyarakat terhadap pagelaran wayang kulit ini, terutama pada generasi mudanya yang enggan untuk melihat pertunjukan wayang kulit yang ada. Hal seperti ini berpengaruh juga terhadap kelangsungan kesenian wayang kulit. Apabila pertunjukan wayang kulit lambat laun luntur, maka akan terjadi pergeseran produksi, distribusi dan konsumsi. Konsumsi dalam hal ini yaitu minat generasi muda dalam menonton seni pertunjukan wayang kulit. Apabila dari generasi muda tidak ada keinginan/ketertarikan untuk melihat pertunjukan wayang kulit, maka akan berpengaruh pada produksi wayang kulit tersebut, sehingga distribusinya pun akan berkurang.
Tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan hasil sosialisasi dari massa sebelumnya. Suatu tradisi yang mampu bertahan lama merupakan tradisi yang telah terinternalisasi oleh masyarakat. Proses internalisasi adalah proses panjang sejak individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.[6] Jadi akan sulit mengganti tradisi yang ada di suatu masyarakat. Walaupun begitu, tidak lah mustahil di dalam suatu masyarakat terjadi perubahan-perubahan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tradisi pada masyarakat tetap ada, namun terjadi pergeseran minat dari generasi mudanya dalam melihat pertunjukan wayang kulit.

Siaran Televisi yang Menyajikan Banyak Hiburan
Siaran Televisi Sebagai Salah Satu Agen Perubahan
Televisi merupakan salah satu media elektronik yang sarat akan informasi, baik informasi dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, televisi juga menyajikan berbagai hiburan didalamnya, mulai dari sinetron, FTV, ajang pencarian bakat, drama-drama luar negeri seperti drama korea dan masih banyak yang lainnya. Apabila kita lihat dan perhatikan, adanya perbedaan yang sangat terlihat antara stasiun televisi yang sekarang dengan dulu. Dulu, acara-acara televisi yang ditayangkan sarat akan seni dan kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah stasiun TVRI, pada stasiun TVRI ini acara-acara yang disiarkan banyak mengandung unsur-unsur budaya Indonesia. Seperti pertunjukan wayang yang sering ditayangkan pada jam-jam tertentu. Pada saat itu, masyarakat Desa Tempel sering melakukan kegiatan nonton bareng, karena pertunjukan wayang merupakan acara televisi yang lumayan banyak digemari oleh masyarakat setempat. Namun, Seiring dengan persaingan global yang kian dirasakan, Indonesia mengalami kemajuan dalam bidang teknologi sehingga nilai-nilai tradisional mengalami pergeseran makna. Nilai-nilai tradisional telah tergantikan oleh nilai-nilai modern. Dalam hal ini, dipengaruhi juga oleh budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia. Salah satunya yaitu lewat acara-acara yang ditayangkan di televisi.
Pensosialisasian budaya-budaya luar dilakukan dengan tontonan-tontonan televisi yang menyajikan beranekaragam unsur-unsur budaya luar. Seperti yang kita tahu saat ini, jarang sekali stasiun televisi yang menyajikan seni pertunjukan wayang, hanya segelintir stasiun televisi yang masih menampilkan pertunjukan wayang, itupun tidak setiap hari. Hal ini terlihat jelas, adanya pergeseran minat masyarakat terhadap seni pertunjukan wayang.
Stasiun televisi, terutama stasiun-stasiun televisi swasta tentu akan menyajikan tontonan dan hiburan yang banyak diminati oleh masyarakat, karena stasiun-stasiun tersebut bersifat komersil. Apabila konsumen dalam hal ini masyarakat, banyak mengkonsumsi suatu tontonan/minat masyarakat terhadap salah satu acara televisi cuku tinggi, seperti misalnya drama-drama korea maka stasiun televisi akan lebih sering menayangkan tontonan-tontonan tersebut. Stasiun televisi akan memproduksi (dari luar/korea) tontonan-tontonan yang banyak menghasilkan keuntungan, dan kemudian mendistribusikannya pada masyarakat dengan menyiarkannya acara tersebut lewat stasiun televisi.

Polemik Lunturnya Seni Pertunjukan Wayang
Tradisi pertunjukan wayang merupakan tradisi yang telah ada sejak dulu, sebenarnya, pertunjukan wayang dapat dikatakan juga sebagai bentuk sosialisasi nilai-nilai budaya pada masyarakat setempat. Setiap cerita pada pertunjukan wayang membawa pesan-pesan tersendiri, sehingga pertunjukan wayang juga dapat dikatakan sebagai bentuk sosialisasi. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.[7] Jadi, pertunjukan wayang bukan hanya sebuah kesenian ataupun adat-istiadat warisan nenek moyang, namun memiliki makna lain, yaitu sebagai bentuk sosialisasi nilai-nilai yang dianut pada saat itu. Dalam hal ini tentu nilai-nilai yang terkandung tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Ini menunjukan bahwa di dalam setiap kebudayaan maupun tradisi dalam suatu masyarakat mengandung nilai-nilai yang berbeda.
Pada saat teknologi belum berkembang pesat di komunitas Desa Tempel ini, tradisi pertunjukan wayang merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Acara televisi pun tidak seperti sekarang. Walaupun pada saat itu belum adanya stasiun televisi lokal, namun seni pertunjukan wayang cukup sering ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Minat masyarakat pun sangatlah tinggi, karena pola pikir masyarakat saat itu belum dipengaruhi oleh budaya luar. Pertunjukan wayang mengalami pergeseran setelah maraknya hiburan yang disiarkan televisi-televisi di Indonesia. hal seperti ini bukan saja dapat mengakibatkan lunturnya/hilangnya seni pertunjukan wayang. Tetapi dapat mengancam nasib dalang, apabila permintaan dari masyarakat terhadap pertunjukan wayang menurun drastis, maka tidak mustahil pertunjukan wayang pun sudah tidak diminati lagi oleh masyarakat. Akibatnya, dalang yang menjadi profesi bagi sebagian orang akan mengalami penurunan/berkurangnya minat seseorang untuk menjadi dalang. Dalang dari pertunjukan wayang merupakan faktor terpenting menariknya sebuah pertunjukan. Di sini, tutur kata serta bahasa dalang dapat menunjukan asal daerah seorang dalang dari melihat gaya pertunjukannya, dan ini pada hakikatnya telah memberi petunjuk bahwa dunia pakeliran memiliki keragaman-keragaman setempat.[8] Keberagaman tersebut dapat menjadi ciri khas dari setiap daerah, karena tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, begitu pula dalam budayanya.


PENUTUP
Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kesenian yang ada di Indonesia. Seni pertunjukan wayang juga sebagai bentuk seni budaya warisan nenek moyang yang sampai sekarang di lestarikan. Di dalam setiap masyarakat memiliki budaya dan tradisi yang berbeda-beda, baik dilihat dari segi bentuk keseniannya maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.  Tradisi memang tidak lepas dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti tradisi pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa Tempel. Tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan hasil sosialisasi dari massa sebelumnya. Tradisi ini merupakan tradisi yang mampu bertahan lama. Hal ini, menunjukan bahwa tradisi tersebut  merupakan tradisi yang telah terinternalisasi oleh masyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman tradisi pertunjukan wayang semakin tersisihkan oleh nilai-nilai modern. Dahulu, tradisi pertunjukan wayang kulit ini banyak diminati oleh masyarakat setempat, karena pada waktu itu masyarakatnya masih kental akan nilai-nilai budaya yang ada, sehingga pertunjukan wayang menjadi sebuah pertunjukan yang sulit untuk ditinggalkan. Apabila pertunjukan wayang kulit lambat laun luntur, maka akan terjadi pergeseran produksi, distribusi dan konsumsi. Konsumsi dalam hal ini yaitu minat generasi muda dalam menonton seni pertunjukan wayang kulit. Apabila dari generasi muda tidak ada keinginan/ketertarikan untuk melihat pertunjukan wayang kulit, maka akan berpengaruh pada produksi wayang kulit tersebut, sehingga distribusinya pun akan berkurang.
Budaya luar yang masuk ke Indonesia, membawa budaya-budaya dari negaranya, sehingga masyarakat menyerap bahkan sebagian masyarakat mengikuti budaya-budaya asing tersebut. Pensosialisasian budaya-budaya luar dilakukan dengan tontonan-tontonan televisi yang menyajikan beranekaragam unsur-unsur budaya luar. Seperti yang kita tahu saat ini, jarang sekali stasiun televisi yang menyajikan seni pertunjukan wayang, hanya segelintir stasiun televisi yang masih menampilkan pertunjukan wayang, itupun tidak setiap hari. Hal ini terlihat jelas, adanya pergeseran minat masyarakat terhadap seni pertunjukan wayang.


















DAFTAR PUSTAKA

Sumber bacaan:
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis
Murtiyoso, Bambang dkk. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta.
Saptono, Bambang Suteng S. 2007. Sosiologi Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: PT Phibeta Aneka Gama.
Y.SO, Alvin dan Suwarsono.2006.Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.



[1] Mahasiswi Jurusan Sosiologi, Prodi Pendidikan Sosiologi Nonreguler 2010, Universitas Negeri Jakarta. Lahir di Indramayu, 28 Januari 1992.
[2] Saptono, Bambang Suteng S., Sosiologi Untuk SMA Kelas XI, Jakarta: PT Phibeta Aneka Gama, 2007, hlm. 124
[3] Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, Surakarta: Citra Etnika Surakarta, 2004, hlm. 1
[4] Wawancara dengan Pak Sijam, tanggal 24/3/2012
[5] Alvin Y.SO dan Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 23
[6] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hlm. 185
[7] Kun Maryati, Juju Suryawati, Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis, 2007,hlm. 96

[8] Bambang Murtiyoso, dkk, op.cit., hlm. 24