(Studi kasus di
komunitas Desa Tempel RT 005/02 Kecamatan Lelea; Indramayu-Jawa Barat)
Oleh:
Indria
Retna Mutiar[1]
(Pendidikan
Sosiologi Nonreg 2010, 4815107123)
Abstrak
Tulisan
ini hendak mengkaji tentang seni pertunjukan wayang yang semakin terlupakan dan
tersisihkan keberadaannya. Dalam pengamatan dan analisis ini, penulis mengambil
studi kasus di komunitas Desa Tempel RT 005/02 ini. Di komunitas Desa Tempel
ini pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu tradisi yang dianggap sakral,
selain itu pertunjukan wayang kulit juga merupakan kesenian serta adat istiadat
masyarakat setempat. Pertunjukan wayang digelar pada acara sedekah bumi.
Sedekah bumi merupakan tradisi yang ada di Desa Tempel. Dahulu, pertunjukan
wayang sangat diminati, baik oleh kalangan orang tua maupun anak mudanya.
Namun, seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pertunjukan wayang
sudah jarang diminati. Terlebih lagi oleh kalangan anak muda di komunitas desa
tersebut. Maksud pengamatan dan analisis ini adalah bagaimana tradisi pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa
Tempel dalam acara sedekah bumi, apa makna pertunjukan wayang kulit bagi
masyarakat setempat, serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan lunturnya
minat generasi muda dalam pertunjukan
wayang kulit. Untuk itu, penulis melakukan sebuah pengamatan dan analisis
sederhana dengan mendeskripsikan situasi dan kondisi yang diperoleh di lapangan.
Dari pengamatan dan analisis ini, penulis menarik kesimpulan bahwa pertunjukan
wayang kulit dianggap sebagai pertunjukan yang kuno, selain itu banyaknya
tontonan-tontonan lain yang lebih menarik, serta jarangnya stasiun televisi
dalam menayangkan pertunjukan wayang. Hal ini dapat melunturkan minat generasi
muda untuk menonton pertunjukan wayang yang menjadi tradisi pada komunitas desa
tersebut.
PENGANTAR
Indonesia adalah
Negara yang kaya, bukan hanya kaya akan Sumber Daya Alam saja tetapi juga budayanya, sehingga masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Masyarakat multikultural
merupakan masyarakat beragam budaya yang khas, kekhasan tersebut terletak dalam
hal cara menyikapi keberagaman budaya.[2]
Keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadi ciri khas dari masyarakat
Indonesia. Setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki budaya dan tradisi
masing-masing, itu sebabnya kita sebagai Warga Negara Indonesia harus menjaga
dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada.
Berbagai
kebudayaan dan kesenian yang ada di Indonesia, seperti dalam seni artistik,
misalnya, kerajinan batik, seni drama, seni pertunjukan wayang dan masih banyak
yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa mayarakat Indonesia memiliki
keanekaragam budaya. Dalam penulisan ini, penulis mencoba mengkaji tentang seni
pertunjukan wayang kulit, khususnya tradisi pertunjukan wayang kulit pada
komunitas Desa Tempel RT 005/02, kecamatan Lelea; Indramayu-Jawa Barat. Tradisi
pertunjukan wayang ini merupakan salah satu tradisi masyarakat setempat yang
masih dipercayai sebagai seni pertunjukan yang sakral. Semula, tradisi
pertunjukan wayang ini banyak diminati, baik oleh orang tua maupun oleh
kalangan anak mudanya. Namun, seiring perkembangan teknologi yang kian
dirasakan, pertunjukan wayang sudah jarang diminati, terlebih lagi oleh
kalangan anak muda. Banyaknya tontonan televisi yang menyajikan berbagai acara
dan hiburan, sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor lunturnya minat nonton masyarakat, khususnya anak-anak
mudanya. Dalam hal ini, seni pertunjukan wayang yang ada di Indonesia,
khususnya saat ini mengalami pergeseran, baik dilihat dari minat penontonnya
(konsumen), juga dalam produksinya, khususnya stasiun-stasiun televisi yang
jarang memproduksi pertunjukan wayang tersebut.
Seni pertunjukan
wayang merupakan salah satu kesenian yang ada di Indonesia. Wayang memiliki
banyak jenis, apabila dilihat dari bahan pembuatannya, wayang dapat
dikelompokan menjadi wayang kulit, wayang golek, wayang orang, wayang logam,
wayang kertas, wayang rumput dan wayang kain. Selain itu, apabila dilihat dari
tempat pertumbuhan, komunitas pendukung, gaya bahasa, dan tradisi
pertunjukannya, wayang dapat digolongkan menjadi: wayang Palembang, wayang
Tambun, wayang Sunda, wayang Jawa, wayang Banjar, wayang Bali, wayang Madura,
dan wayang Lombok (Sasak).[3]
Beberapa jenis wayang tersebut tumbuh dan berkembang di Indonesia. Namun,
seiring berkembangnya zaman dan teknologi pun semakin berkembang, seni
pertunjukan wayang sudah jarang terlihat di televisi. Ini menjadi perhatian
penulis, mengapa perkembangan dan kemajuan teknologi berpengaruh pada
terkikisnya pertunjukan wayang di Indonesia? Apakah budaya asing berpengaruh
terhadap lunturnya pertunjukan wayang di stasiun-stasiun televisi?
Tulisan ini akan
disajikan dalam enam bagian. Pertama,
pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan pokok dan tujuan penulisan. Kedua, mendeskripsikan sekilas tentang
masyarakat Desa Tempel. Ketiga,
menjelaskan tentang seni pertunjukan wayang kulit sebagai tradisi masyarakat
setempat. Keempat, menjelaskan tentang
televisi yang menyajikan banyak hiburan. Kelima,
memaparkan tentang polemik lunturnya seni pertunjukan wayang. Keenam, penutup yaitu mencakup
kesimpulan dari penulisan paper “Seni Pertunjukan Wayang: Tradisi yang
Terlupakan dan Tersisihkan” yang terjadi di masyarakat Desa Tempel RT 005/02.
DESKRIPSI
WILAYAH DESA TEMPEL RT 005/02
Sekilas
Tentang Masyarakat Desa Tempel
Desa tempel
berasal dari kata “nempel” yang artinya melekat. Nama ini diberikan oleh Ki
Buyut Srukun. Menurut salah satu informan, Ki Buyut Srukun ini adalah orang
yang memberi nama sekaligus orang pertama yang tinggal di desa tempel ini[4].
Desa tempel
berada pada kondisi yang strategis untuk lahan pertanian, sehingga penduduknya
sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Luas wilayah Desa Tempel seluruhnya
sekitar 545 Ha, terdiri dari: Pertanian sekitar 450 Ha, selebihnya merupakan
rumah penduduk dan pekarangan/tanah kosong. Pada tahun 1996-an masyarakat Desa
Tempel RT 005/02 didominasi oleh sektor pertanian, sekitar 85% masyarakatnya adalah
petani. Biasanya setiap panen padi, masyarakat desa ini mengadakan tradisi yang
namanya “Sedekah Bumi” yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang di
dapat. Salah satu bagian dari tradisi ini, yaitu dengan menggelar pertunjukan
wayang kulit.
Desa Tempel
merupakan desa yang cukup jauh dari jalan raya, ini menjadi salah satu faktor
sulitnya jangkauan teknologi dan informasi. Selain itu, masyarakatnya merupakan
kalangan ekonomi bawah, sehingga sebagian besar masyarakatnya belum
terkontaminasi oleh nilai-nilai modern. Dahulu, media yang dapat diakses pada
saat itu hanya radio dan televisi hitam putih yang masih menggunakan
akumulator, itu pun hanya beberapa rumah saja yang memilikinya. Kemudian pada
tahun 1997, listrik masuk ke desa tersebut. Namun pada saat itu hanya beberapa
rumah saja yang beralih dari “obor” ke listrik, mengingat banyak masyarakat
yang tidak mampu untuk memasang listrik di rumahnya.
Desa Tempel
masih sarat akan tradisi-tradisi yang dibawa nenek moyang, salah satunya yaitu
tradisi pertunjukan wayang kulit. Tradisi pertunjukan wayang kulit ini biasanya
digelar setelah panen padi. Tradisi ini berlangsung cukup lama, karena sampai
sekarang tradisi pertunjukann wayang kulit masih rutin diselenggarakan oleh
masyarakat setempat. Kesenian yang bercampur dengan kepercayaan masyarakat
terhadap tradisi tersebut menjadi salah satu masih bertahannya pertunjukan
wayang tersebut. Namun, kebertahanan dari tradisi ini tidaklah sama dengan
minat dari generasi mudanya, karena pada saat ini pertunjukan wayang kulit
hanya menjadi tradisi dan simbolis, bahwa masyarakat masih meneruskan tradisi
nenek moyang.
Seni
Pertunjukan Wayang Kulit Sebagai Tradisi Masyarakat Setempat
Masyarakat
indonesia adalah masyarakat yang memiliki beranekaragam budaya, begitu pula di
Desa Tempel yang memiliki budaya-budaya khas. Salah satu tradisi yang khas di
desa tersebut yaitu sedekah bumi. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
sedekah bumi merupakan tradisi yang tumbuh dan berkembang di Desa Tempel.
Tradisi ini merupakan suatu bentuk rasa syukur atas hasil panen padi. Hal yang
paling khas dari tradisi ini adalah pertunjukan wayang kulit. Dalam tradisi
sedekah bumi ini, pertunjukan wayang kulit merupakan suatu kesenian yang
bersifat sakral dan juga merupakan adat istiadat masyarakat setempat.
Makna dari
sedekah bumi ini adalah bentuk rasa syukur atas berhasilnya panen padi
masyarakat setempat. Tradisi ini merupakan percampuran dua kepercayaan, yaitu
agama Hindu dan Budha, sebelum islam masuk, agama Hindu-Budha telah tersebar terlebih
dahulu. Tradisi-tradisi yang turun-temurun dari nenek moyang ini sangat
dipercayai keberadaannya. Menurut kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
setempat, sedekah bumi yang di dalamnya menggelar pertunjukan wayang kulit ini
wajib untuk diselenggarakan setiap tahunnya, karena apabila tidak dilaksanakan
maka akan terjadi malapetaka/gagal panen dikemudian hari. Hal ini yang masih
dipercayai oleh masyarakat setempat. Walaupun saat ini masyarakatnya sebagian
besar beragama islam, namun karena menghormati warisan leluhur, sehingga
sedekah bumi masih diadakan.
Seni pertunjukan wayang
kulit di komunitas Desa Tempel merupakan bentuk seni budaya warisan nenek
moyang yang sampai sekarang di lestarikan. Namun, seiring perkembangan zaman
tradisi pertunjukan wayang semakin tersisihkan oleh nilai-nilai modern. Dahulu, tradisi pertunjukan wayang kulit ini banyak
diminati oleh masyarakat setempat, karena pada waktu itu masyarakatnya masih
kental akan nilai-nilai budaya yang ada, sehingga pertunjukan wayang menjadi sebuah
pertunjukan yang sulit untuk ditinggalkan. Namun, sekarang nilai-nilai
tradisional telah luntur tergantikan oleh nilai-nilai modern. Modernisasi pada
masyarakat setempat dapat terlihat dari kalangan anak muda yang sudah tidak mau
mengenal tradisi dan budayanya sendiri. Kebanyakan kalangan anak-anak muda
menganggap seni pertunjukan wayang kulit sebagai pertunjukan/tontonan yang kuno
dan ketinggalan zaman. Hal ini yang menjadikan pertunjukan wayang tersisihkan
oleh nilai-nilai modern. Seperti pendapat Huntington, ia menyatakan bahwa teori
modernisasi melihat “modern” dan “tradisional” sebagai dua konsep yang pada
dasarnya bertentangan (asimetris). Dalam hal ini teori modernisasi menguraikan
secara rinci apa yang menjadi karakteristik masyarakat modern, sementara ciri
masyarakat tradisional terlupakan untuk dibahas.[5]
Ini juga terjadi pada kalangan anak-anak muda di desa tersebut, seperti yang
tadi dipaparkan bahwa tradisi pertunjukan wayang kulit sampai saat ini masih
bertahan, namun terjadi pergeseran/lunturnya minat generasi muda dalam melihat
pertunjukan wayang kulit tersebut.
Tradisi memang
tidak lepas dari nilai-nilai yang ada di dalam suatu masyarakat. Seperti
tradisi pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa Tempel. Tradisi pertunjukan
wayang kulit ini dilakukan satu kali dalam setahun, perbedaannya hanya terletak
pada respon masyarakat terhadap pagelaran wayang kulit ini, terutama pada
generasi mudanya yang enggan untuk
melihat pertunjukan wayang kulit yang ada. Hal seperti ini berpengaruh juga
terhadap kelangsungan kesenian wayang kulit. Apabila pertunjukan wayang kulit lambat
laun luntur, maka akan terjadi pergeseran produksi, distribusi dan konsumsi.
Konsumsi dalam hal ini yaitu minat generasi muda dalam menonton seni
pertunjukan wayang kulit. Apabila dari generasi
muda tidak ada keinginan/ketertarikan untuk melihat pertunjukan wayang kulit,
maka akan berpengaruh pada produksi wayang kulit tersebut, sehingga
distribusinya pun akan berkurang.
Tradisi yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan hasil sosialisasi dari massa
sebelumnya. Suatu tradisi yang mampu bertahan lama merupakan tradisi yang telah
terinternalisasi oleh masyarakat. Proses internalisasi adalah proses panjang
sejak individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, individu belajar
menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, napsu, dan emosi yang
diperlukan sepanjang hidupnya.[6]
Jadi akan sulit mengganti tradisi yang ada di suatu masyarakat. Walaupun
begitu, tidak lah mustahil di dalam suatu masyarakat terjadi
perubahan-perubahan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tradisi pada
masyarakat tetap ada, namun terjadi pergeseran minat dari generasi mudanya
dalam melihat pertunjukan wayang kulit.
Siaran
Televisi yang Menyajikan Banyak Hiburan
Siaran Televisi Sebagai
Salah Satu Agen Perubahan
Televisi
merupakan salah satu media elektronik yang sarat akan informasi, baik informasi
dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, televisi juga menyajikan berbagai
hiburan didalamnya, mulai dari sinetron, FTV, ajang pencarian bakat,
drama-drama luar negeri seperti drama korea dan masih banyak yang lainnya.
Apabila kita lihat dan perhatikan, adanya perbedaan yang sangat terlihat antara
stasiun televisi yang sekarang dengan dulu. Dulu, acara-acara televisi yang
ditayangkan sarat akan seni dan kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah
stasiun TVRI, pada stasiun TVRI ini acara-acara yang disiarkan banyak
mengandung unsur-unsur budaya Indonesia. Seperti pertunjukan wayang yang sering
ditayangkan pada jam-jam tertentu. Pada saat itu, masyarakat Desa Tempel sering
melakukan kegiatan nonton bareng, karena pertunjukan wayang
merupakan acara televisi yang lumayan banyak digemari oleh masyarakat setempat.
Namun, Seiring dengan persaingan global yang kian dirasakan, Indonesia
mengalami kemajuan dalam bidang teknologi sehingga nilai-nilai tradisional
mengalami pergeseran makna. Nilai-nilai tradisional telah tergantikan oleh
nilai-nilai modern. Dalam hal ini, dipengaruhi juga oleh budaya-budaya asing
yang masuk ke Indonesia. Salah satunya yaitu lewat acara-acara yang ditayangkan
di televisi.
Pensosialisasian
budaya-budaya luar dilakukan dengan tontonan-tontonan televisi yang menyajikan
beranekaragam unsur-unsur budaya luar. Seperti yang kita tahu saat ini, jarang
sekali stasiun televisi yang menyajikan seni pertunjukan wayang, hanya segelintir stasiun televisi yang masih
menampilkan pertunjukan wayang, itupun tidak setiap hari. Hal ini terlihat
jelas, adanya pergeseran minat masyarakat terhadap seni pertunjukan wayang.
Stasiun
televisi, terutama stasiun-stasiun televisi swasta tentu akan menyajikan
tontonan dan hiburan yang banyak diminati oleh masyarakat, karena
stasiun-stasiun tersebut bersifat komersil. Apabila konsumen dalam hal ini
masyarakat, banyak mengkonsumsi suatu tontonan/minat masyarakat terhadap salah
satu acara televisi cuku tinggi, seperti misalnya drama-drama korea maka stasiun
televisi akan lebih sering menayangkan tontonan-tontonan tersebut. Stasiun
televisi akan memproduksi (dari luar/korea) tontonan-tontonan yang banyak
menghasilkan keuntungan, dan kemudian mendistribusikannya pada masyarakat
dengan menyiarkannya acara tersebut lewat stasiun televisi.
Polemik
Lunturnya Seni Pertunjukan Wayang
Tradisi
pertunjukan wayang merupakan tradisi yang telah ada sejak dulu, sebenarnya,
pertunjukan wayang dapat dikatakan juga sebagai bentuk sosialisasi nilai-nilai
budaya pada masyarakat setempat. Setiap cerita pada pertunjukan wayang membawa
pesan-pesan tersendiri, sehingga pertunjukan wayang juga dapat dikatakan
sebagai bentuk sosialisasi. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau
transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya
dalam sebuah kelompok atau masyarakat.[7]
Jadi, pertunjukan wayang bukan hanya sebuah kesenian ataupun adat-istiadat
warisan nenek moyang, namun memiliki makna lain, yaitu sebagai bentuk
sosialisasi nilai-nilai yang dianut pada saat itu. Dalam hal ini tentu
nilai-nilai yang terkandung tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan
yang lainnya. Ini menunjukan bahwa di dalam setiap kebudayaan maupun tradisi
dalam suatu masyarakat mengandung nilai-nilai yang berbeda.
Pada saat teknologi
belum berkembang pesat di komunitas Desa Tempel ini, tradisi pertunjukan wayang
merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Acara televisi pun tidak seperti sekarang.
Walaupun pada saat itu belum adanya stasiun televisi lokal, namun seni
pertunjukan wayang cukup sering ditayangkan di salah satu stasiun televisi.
Minat masyarakat pun sangatlah tinggi, karena pola pikir masyarakat saat itu belum dipengaruhi oleh budaya luar.
Pertunjukan wayang mengalami pergeseran setelah maraknya hiburan yang disiarkan
televisi-televisi di Indonesia. hal seperti ini bukan saja dapat mengakibatkan
lunturnya/hilangnya seni pertunjukan wayang. Tetapi dapat mengancam nasib
dalang, apabila permintaan dari masyarakat terhadap pertunjukan wayang menurun
drastis, maka tidak mustahil pertunjukan wayang pun sudah tidak diminati lagi
oleh masyarakat. Akibatnya, dalang yang menjadi profesi bagi sebagian orang
akan mengalami penurunan/berkurangnya minat seseorang untuk menjadi dalang.
Dalang dari pertunjukan wayang merupakan faktor terpenting menariknya sebuah
pertunjukan. Di sini, tutur kata serta bahasa dalang dapat menunjukan asal
daerah seorang dalang dari melihat gaya pertunjukannya, dan ini pada hakikatnya
telah memberi petunjuk bahwa dunia pakeliran
memiliki keragaman-keragaman setempat.[8]
Keberagaman tersebut dapat menjadi ciri khas dari setiap daerah, karena
tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, begitu pula
dalam budayanya.
PENUTUP
Seni pertunjukan
wayang merupakan salah satu kesenian yang ada di Indonesia. Seni pertunjukan
wayang juga sebagai bentuk seni budaya warisan nenek moyang yang sampai
sekarang di lestarikan. Di dalam setiap masyarakat memiliki budaya dan tradisi
yang berbeda-beda, baik dilihat dari segi bentuk keseniannya maupun nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Tradisi
memang tidak lepas dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
Seperti tradisi pertunjukan wayang kulit di komunitas Desa Tempel. Tradisi yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan hasil sosialisasi dari massa
sebelumnya. Tradisi ini merupakan tradisi yang mampu bertahan lama. Hal ini,
menunjukan bahwa tradisi tersebut
merupakan tradisi yang telah terinternalisasi oleh masyarakat. Namun,
seiring perkembangan zaman tradisi pertunjukan wayang semakin tersisihkan oleh
nilai-nilai modern. Dahulu, tradisi pertunjukan
wayang kulit ini banyak diminati oleh masyarakat setempat, karena pada waktu
itu masyarakatnya masih kental akan nilai-nilai budaya yang ada, sehingga
pertunjukan wayang menjadi sebuah pertunjukan yang sulit untuk ditinggalkan. Apabila
pertunjukan wayang kulit lambat laun luntur, maka akan terjadi pergeseran
produksi, distribusi dan konsumsi. Konsumsi dalam hal ini yaitu minat generasi
muda dalam menonton seni pertunjukan wayang kulit.
Apabila dari generasi muda tidak ada keinginan/ketertarikan untuk melihat
pertunjukan wayang kulit, maka akan berpengaruh pada produksi wayang kulit
tersebut, sehingga distribusinya pun akan berkurang.
Budaya luar yang
masuk ke Indonesia, membawa budaya-budaya dari negaranya, sehingga masyarakat
menyerap bahkan sebagian masyarakat mengikuti budaya-budaya asing tersebut. Pensosialisasian
budaya-budaya luar dilakukan dengan tontonan-tontonan televisi yang menyajikan
beranekaragam unsur-unsur budaya luar. Seperti yang kita tahu saat ini, jarang
sekali stasiun televisi yang menyajikan seni pertunjukan wayang, hanya segelintir stasiun televisi yang masih
menampilkan pertunjukan wayang, itupun tidak setiap hari. Hal ini terlihat
jelas, adanya pergeseran minat masyarakat terhadap seni pertunjukan wayang.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber bacaan:
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Maryati,
Kun dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi
SMA Kelas X. Jakarta: Esis
Murtiyoso,
Bambang dkk. 2004. Pertumbuhan dan
Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta.
Saptono,
Bambang Suteng S. 2007. Sosiologi Untuk
SMA Kelas XI. Jakarta: PT Phibeta Aneka Gama.
Y.SO,
Alvin dan Suwarsono.2006.Perubahan Sosial
dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
[1]
Mahasiswi Jurusan Sosiologi, Prodi Pendidikan Sosiologi Nonreguler 2010,
Universitas Negeri Jakarta. Lahir di Indramayu, 28 Januari 1992.
[2]
Saptono, Bambang Suteng S., Sosiologi
Untuk SMA Kelas XI, Jakarta: PT Phibeta Aneka Gama, 2007, hlm. 124
[3] Bambang
Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan
Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, Surakarta: Citra Etnika Surakarta,
2004, hlm. 1
[5] Alvin
Y.SO dan Suwarsono, Perubahan Sosial dan
Pembangunan, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 23
[6]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hlm. 185
[7] Kun
Maryati, Juju Suryawati, Sosiologi SMA
Kelas X. Jakarta: Esis, 2007,hlm. 96