kursor berjalan

Sabtu, 01 Desember 2012

KAPITALISME PENDIDIKAN

Oleh:
Indria Retna Mutiar

PENGANTAR
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan individu dalam merealisasikan bakat-bakatnya. Pendidikan bukan saja mengarah pada pemahaman ilmu pengetahuan, namun pendidikan juga berperan sebagai penyalur nilai-nilai. Sehingga di dalam proses pembelajaran harus mengarah pada tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut harus berjalan seimbang, karena peserta didik bukanlah robot ciptaan manusia yang dibentuk dan diciptakan hanya untuk memenuhi/mengikuti pemiliknya. Di sini, peserta didik dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan potensinya, sehingga bakat yang ada di tiap-tiap individu dapat terealisasikan melalui pendidikan.
Di dalam pendidikan tentunya memiliki aturan-aturan dan nilai-nilai, aturan dan nilai-nilai ini bertujuan sebagai pedoman di dalam pelaksanaan pembelajaran agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Aturan dan nilai-nilai ini termuat di dalam kurikulum, di mana di dalam kurikulum mencakup rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi yang direncanakan sebagai pedoman dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi kurikulum merupakan kerangka awal dalam proses pembelajaran.
Apabila kita amati dan analisis film gambaran kota jakarta dan perkembangannya, pendidikan yang terlihat sekarang mengalami ketidaksesuaian. Di mana, peran pendidikan yang semula hanya sebagai penyalur bakat-bakat individu, kini menjadi sebuah lembaga yang menciptakan individu kapitalis. Pendidikan mengarah pada kapitalisme, menciptakan manusia-manusia produktif dan mengesampingkan hal-hal kecil yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Membentuk individu yang mampu bersaing di dunia kerja, sehingga pendidikan menekankan pada aspek pengetahuan dan kemampuan (skill) saja, tanpa diimbangi dengan penanaman moral yang mengarah pada pembentukan pribadi yang religius dan berakhlak mulia. Telah banyak contoh yang terjadi, misalnya saja pada kasus tawuran antarpelajar SMA yang terjadi di kota-kota. Ini terlihat jelas bahwa pendidikan tidak mampu membentuk peserta didik menjadi pribadi yang bermoral dan berakhlak mulia, karena pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Sehingga mereka lebih menekankan pada hasil bukan pada prosesnya.
Pembentukan kurikulum mengacu pada keberhasilan pendidikan, yang jadi masalah adalah keberhasilan pendidikan yang seperti apa yang ingin dicapai? Di sini, demi menjamin kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara sentralistik, sehingga kurikulum yang digunakan harus setara, artinya tidak adanya ketimpangan-ketimpangan didalamnya. Seperti dalam kurikulum 2004, guru diberikan kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah.  Terlihat jelas bahwa kurikulum harus mempunyai prinsip kesetaraan dan kebebasan. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu. Praktek pendidikan yang terjadi justru semakin mengarah pada kesenjangan, di mana kurikulum yang ada tidak disesuaikan dengan kondisi sekolah dan daerah. Pendidikan menciptakan manusia robot yang memiliki pengetahuan dan skill, membentuk lulusan yang dapat menopang kapitalisme dengan diarahkan memiliki pengetahuan dan keahlian.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang “Kapitalisme Pendidikan” mengacu pada analisis penulis terhadap film yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Di dalam kapitalisme pendidikan ini, pendidikan bukan hanya tempat penyalur bakat-bakat individu. Namun, pendidikan merupakan ajang kontestasi untuk menciptakan individu-individu yang mampu bersaing di pasar industri, tentu di sini adanya campur tangan dari penguasa. Mengacu pada kurikulum yang ada, pendidikan juga tidak menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Tetapi, pendidikan di arahkan pada pembentukan individu-individu yang produktif, dapat bersaing dengan dunia luar dan di jadikan sebagai saluran  untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Di sini, penulis menggunakan perspektif konflik Karl Marx sebagai analisis di dalam tulisan ini. Tulisan ini akan disajikan dalam tiga bagian. Pertama, pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan pokok dan tujuan penulisan. Kedua, pembahasan yang di awali dengan mendeskripsikan sekilas tentang wajah lain dari pendidikan yang ada di indonesia, memaparkan kontestasi pendidikan sebagai bentuk dari adanya kapitalisme. Ketiga, penutup  yaitu mencakup kesimpulan dari penulisan yang berjudul Kapitalisme Pendidikan.

PEMBAHASAN
Wajah Lain Pendidikan
Perkembangan industri yang dirasakan sekarang semakin melanda negara kita. Banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang mendirikan/mengembangkan bisnisnya disini. Pembangunan-pembangunan memadati kota-kota, mulai dari pembangunan pabrik-pabrik industri, mall-mall, apartemen dan masih banyak yang lainnya. Namun, disisi lain pembangunan-pembangunan ini menciptakan banyak masalah, seperti sulitnya menemukan lahan kosong untuk tempat tinggal, menciptakan masyarakat yang konsumtif, pembangunan tidak melihat kondisi geografis yang ada, sehingga kota-kota yang dipadati pembangunan-pembangunan tersebut menjadi gersang.
Di sisi lain kemewahan-kemewahan yang terdapat diperkotaan menyulitkan masyarakat miskin yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh. Tempat tinggal yang padat penduduk semakin terpinggirkan, tidak sedikit terkadang pemukiman mereka di bongkar paksa demi kepentingan kaum kapitalis. Kapitalisme merupakan sistem kekuasaan, bahwa kekuasaan-kekuasaan politis telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi.  Adanya kekuasaan di dalamnya, kepentingan-kepentingan penguasa lah yang mendominasi. Pendidikan pun tidak mampu membenahi kerusakan-kerusakan yang terjadi. Namun, pendidikan semakin mengarah pada pembentukan individu-individu kapitalis. Ini berarti ada ketidaksesuaian dengan tujuan pendidikan. Kurikulum di ciptakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Namun, kurikulum yang dirasa sekarang mengarah pada pembentukan individu-individu yang memiliki pengetahuan dan keahlian, tetapi tidak memiliki kepekaan sosial.Dalam hal ini, seharusnya peran pendidikan dapat menciptakan individu-individu yang peka terhadap kondisi sosial daerahnya. Pendidikan bukan menciptakan peserta didik  terasing dari derahnya sendiri, tetapi pendidikan harus mampu menjadi tempat penyaluran bakat-bakat dan mengembangkannya. Sehingga peserta didik dapat memahami kondisi yang ada di lingkungan sekitarnya. Pembangunan bukanlah hanya sekedar pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan Sumber Daya Manusia yang religius, berakhlak mulia dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Kontestasi Pendidikan
Kontestasi pendidikan merupakan bentuk dari kapitalisme, di mana didalam kontestasi pendidikan, pendidikan tidak lagi menekankan pada proses pembelajaran, tetapi lebih menekankan pada hasilnya. Di dalam pendidikan, peserta didik bukan hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan tetapi seharusnya pendidikan menjadi media transformasi nilai-nilai. Dalam kontestasi pendidikan seringkali mengabaikan hal-hal tersebut, persaingan sering diartikan sebagai suatu perlombaan dalam mencapai keberhasilan tanpa menghiraukan proses. Apabila kita kaitkan dengan kurikulum, pendidikan harus mengarah pada kesetaraan, namun pada prakteknya banyak ketimpangan-ketimpangan di dalamnya. Meskipun sudah adanya otonomi di dalam menentukan pembelajaran tetapi tetap tidak sesuai yang diharapkan. Peserta didik hanya dicekoki dengan materi-materi yang ada, yang mengarah pada pengetahuan dan keahlian. Minimnya materi-materi muatan lokal dan pengembangan kepribadian. Sehingga pendidikan hanya menciptakan individu yang “pintar” namun tidak peka pada lingkungan sosial.
Seperti yang tergambar di film yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini, yaitu gambaran dari kota jakarta. Jakarta merupakan kota yang padat penduduk, berbagai kalangan ada di dalmnya. Unsur-unsur budaya pun berbaur dan menjadi satu. Pendidikan tidak mampu membenahi kota jakarta yang semakin hari semakin mengarah pada kerusakan. Anak-anak menjadi terasingkan di kotanya sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membenahi kotanya sendiri. Padahal, seharusnya pendidikan dapat menciptakan individu-individu yang terampil dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Ini berarti terdapat ketidaksesuaian/tidak berjalannya fungsi dari ketiga aspek di atas (kognitif, afektif, psikomotorik). Hasil dari pendidikan menciptakan individu-individu yang produktif, yang mengarah pada kapitalisme. Hal ini dapat terlihat dari keberadaan pasar-pasar industri yang ada di jakarta. Bangunan-bangunan yang semakin meningkat, namun semua ini tidak dapat menanggulangi kemiskinan yang ada di dalamnya. Pendidikan hanya menciptakan individu yang mampu bersaing untuk membangun saluran-saluran kapitalisme. Seperti yang dikemukakan oleh Marx, bahwa kurikulum diciptakan untuk industrialisasi tetap berjalan merupakan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme, yang tentunya ada kepentingan-kepentingan penguasa di dalamnya.

KESIMPULAN
Dari pemaparan-pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan memiliki wajah lain. Pendidikan bukan hanya sebagai penyalur bakat-bakat/potensi peserta didik, namun pendidikan juga membentuk peserta didik menjadi manusia yang produktif, dengan mengutamakan pengetahuan dan keahlian, serta terdapat kontestasi di dalamnya. Kontestasi di sini mengarah pada kapitalisme, seperti yang di kemukakan oleh Karl Marx, bahwa kurikulum diciptakan untuk industrialisasi tetap berjalan merupakan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Jadi dengan adanya kurikulum yang menekankan pada kontestasi, menciptakan peserta didik yang hanya menekankan pada pengetahuan dan keahlian agar berkompeten di dunia kerja, hal ini merupakan bentuk dari kapitalisasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA


Sumber Bacaan:
Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi:Edisi ke-7. Jakarta: Kreasi Wacana.

Sumber Bacaan Lain: