kursor berjalan

Rabu, 25 Januari 2012

GLOBALISASI MEMICU TIMBULNYA KAPITALISME PENDIDIKAN


 Oleh: Indria Retna Mutiar
Latar Belakang
Pada era globalisasi ini membawa kita pada kemajuan-kemajuan yang semakin terasa keberadaannya, baik kemajuan di dunia teknologi dan informasi maupun pada bidang pendidikan yang membawa kita pada perubahan-perubahan yang mengarah pada modernisasi. Dimana di dalam modernisasi yaitu sesuai dengan teorinya Rostow  bahwa modernisasi merupakan proses bertahap, yang semula masyarakat berada dalam tatanan yang primitif dan sederhana menuju dan berakhir pada tatanan yang maju dan kompleks[1]. Dari pernyataan tersebut ada kaitannya dengan pendidikan saat ini yang semakin membawa kita pada kemajuan-kemajuan, terlihat dari adanya sekolah-sekolah yang bertaraf internasional. Ini menunjukan adanya kemajuan-kemajuan di dalam pendidikan. Sekolah bertaraf internasional ini merupakan suatu program pemerintah didalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya, sehingga memiliki kemampuan dan skill yang tentunya akan menjadi sebuah asset bagi Negara. Kemajuan di bidang teknologi tentu harus di imbangi dengan kualitas dari Sumber Daya Manusiannya, kualitas SDM tentu dapat direalisasikan dengan pendidikan.
Didalam pendidikan yang telah mengarah pada ke-modernan tentunya harus di imbangi dengan sarana dan prasarana yang disediakan, karena proses pembelajaran memerlukan suatu media pembelajaran, media pembelajaran ini merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperlancar suatu proses yang akan dilaksanakan di dalam proses pembelajaran. Dengan begitu tentunya pemerintah harus menyiapkan segala keperluan (sarana dan prasarana) yang dibutuhkan untuk keberhasilan suatu pendidikan bertaraf internasional. Program tersebut merupakan suatu program yang mengarah pada globalisasi. Pada era globalisasi ini, dimana sistem pendidikan mengarah pada pemanfaatan teknologi dan informasi yang tentunya ini akan memakan biaya yang cukup mahal, sementara anggaran dari pemerintah tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, dikarenakan sering terjadinya hambatan mengenai hal tersebut. Tentu hal ini perlu diperhatikan, karena apabila terjadi ketidaksesuaian dengan standar pendidikan nasional, yang tentunya harus disesuaikan juga dengan kelengkapan dari sarana dan prasarananya, sementara kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi sekolah belum sepenuhnya terlaksana maka akan menyebabkan kenaikan biaya pendidikan, ini yang menimbulkan terjadinya kapitalisme pendidikan. Hal ini tidak boleh dibiarkan, karena pendidikan merupakan suatu hak bagi setiap warga Negara tanpa melihat status ekonominya. Apabila hal ini terjadi, bagaimana dampak yang akan terjadi di dunia pendidikan yang akan datang ? Serta bagaimana nasib masyarakat yang lemah dalam hal ekonominya ? Ini menjadi sangat tidak adil untuk kalangan masyarakat ekonomi menengah kebawah, sementara mereka juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya.

Permasalahan
Kemajuan-kemajuan yang kian dirasakan membawa pada tatanan globalisasi, dimana pada pendidikan yang mengarah pada tatanan globalisasi ini memicu timbulnya kapitalisme pendidikan. Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas Negara[2]. Apabil kita ambil salah satu contoh dari kapitalisme pendidikan ini, yaitu pada Sekolah Bertaraf Internasional, disini Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan pengaplikasian dari globalisasi pendidikan, dimana di dalam SBI, sarana dan prasarananya sangat di utamakan, mulai dari ruangan kelas, lab komputer, lab praktek dan lain-lain. Pada dasarnya SBI merupakan suatu program pemerintah untuk memajukan kualitas pendidikan Indonesia, tetapi pada kenyataannya SBI akan dirasa sangat tidak adil apabila hanya siswa-siswa dari kalangan menengah keataslah yang dapat merasakannya, ini yang menimbulkan suatu pertanyaan buat kita, apakah pendidikan berkualitas hanya diperuntukan bagi kalangan ekonomi menengah keatas ? Bagaimana dengan siswa-siswa yang notabene pintar tetapi lemah secara ekonomi ?
Disini yang menjadi permasalahan, dan penulis mencoba mengkaji suatu perdebatan SBI yang merupakan bentuk kapitalisme pendidikan. Kapitalisme pendidikan disini maksudnya adalah sekolah menjadi tempat berkumpulnya kelompok orang kaya, yang dengan bangga memamerkan kekayaan dan kekuasaan. Kondisi ini menjadikan orang miskin akan tetap miskin dan orang kaya akan semakin kaya, sebuah keadaan yang tidak lebih baik dari zaman penjajahan, yang oleh Karl Mark penjajahan dalam segala bentuknya merupakan perpanjangan tangan dari kapitalisme[3]. Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa pendidikan saat ini telah mengarah pada kapitalisme, hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR No.IV/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menyatakan: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”[4]. Jika seperti ini halnya, maka seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kondisi pendidikan, dimana setiap warga Negara berhak mengenyam pendidikan.

Pembahasan
Pendidikan di Indonesia Masa Kini
Pada dasarnya, pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat[5]. Jadi dalam hal ini pendidikan bukan saja mengarah pada peningkatan kualitas hidup dengan pengetahuan yang diperoleh tetapi juga harus mengarah pada pembentukan moral dari hasil pembelajaran yang di dapat.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara tanpa melihat agama, ras, suku bangsa dan status sosial. Setiap warga Negara berhak mengenyam pendidikan, sesuai dengan pasal 31 ayat 1 bahwa: “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”, kemudian pada ayat 2 juga disebutkan : “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”[6]. Dari pernyataan tersebut terlihat jelas bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab didalam dunia pendidikan. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan seharusnya dapat di akses oleh setiap warga Negara tanpa terkecuali, tetapi pada kenyataannya, pendidikan yang dirasa saat ini telah menjadi sebuah alat diskriminasi bagi kalangan menengah kebawah, karena pendidikan yang memiliki kualitas baik dirasa mahal sehingga masyarakat dengan ekonomi lemah tidak dapat mengaksesnya. Ini merupakan sebuah kenyataan yang sangat tidak adil, karena tidak sesuai dengan janji pemerintah terhadap warga negaranya.
Pada kenyataannya, pendidikan sarat akan berbagai kepentingan. Pendidikan dalam perjalanannya searah dengan eskalasi ekonomic political interest yang terjadi. Pendidikan dalam setiap fase sejarah mengalami involusi dari fitrahnya sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia. Bahkan sekarang pendidikan menjadi pasar potensial untuk mengakumulasi kapital, yang lebih dikenal dengan kapitalisme pendidikan[7]. Munculnya kapitalisme pendidikan merupakan cerminan dari globalisasi, dimana pada globalisasi telah mengarah pada kemajuan-kemajuan di bidang teknologi, tentu ini perlu diimbangi dengan kualitas dari SDM-nya sehingga dituntut untuk memiliki daya saing yang tinggi dengan Negara-negara lain. Pada dasarnya pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana didalam proses pembelajaran yang dilakukan bukan saja pada pengembangan potensi-potensi peserta didik tetapi juga harus mampu membentuk kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia dan bermoral. Saat ini, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu bentuk diskriminasi bagi kalangan ekonomi lemah, karena sekolah-sekolah yang notabene berkualitas bagus hanya diperuntukkan bagi kalangan borjuis. Disini yang menjadi alasan penulis menamakan “Kapitalisme Pendidikan”. Karena saat ini dirasa pendidikan telah mengarah pada privatisasi yaitu suatu pengkhususan pendidikan bagi kaum-kaum kapital dalam melancarkan bisnisnya. Terlihat jelas dengan adanya SBI sebagai bentuk globalisasi didalam dunia pendidikan tetapi cenderung diperuntukkan bagi kalangan ekonomi menengah keatas, karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan sehingga siswa yang memiliki potensi unggul tetapi lemah ekonomi tidak bisa menjangkaunya.

Kemajuan Pendidikan atau Keterpurukan ?
Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang tidak kalah dengan Negara lain. Tetapi permasalahannya adalah bagaimana pemberdayaannya, disamping itu perlu ditekankan bahwa pendidikan bukan suatu instrument yang bisa dijadikan sebagai alat untuk memajukan kaum-kaum kapital, tetapi pendidikan harus mengarah pada keadilan bagi setiap warga Negara, dalam artian pendidikan sebagai jembatan didalam merealisasikan potensi-potensi yang dimiliki setiap individu. Dari hal-hal yang telah dibahas di atas, tentunya tujuan pendidikan nasional juga harus memperhatikan masalah biaya, sehingga setiap warga Negara dapat mengakses pendidikan yang berkualitas bagus tanpa adanya diskriminasi.
Seperti yang telah dibahas diatas, SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) merupakan suatu pengaplikasian dari globalisasi dalam dunia pendidikan. Tujuan dari adanya SBI yaitu mencetak generasi-generasi yang memiliki pengetahuan yang luas serta dapat menyesuaikan diri dengan dunia internasional. Ini suatu tujuan pendidikan yang mengarah pada kemajuan yang cukup pesat. Tetapi apabila kita lihat dan telaah lebih jauh lagi, apakah pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan ? Ini menjadi dilematis untuk kita semua, dengan kata lain apakah pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan ataukah keterpurukan ?

Analisis Berdasarkan Teori
Teori Modernisasi
Dalam hal ini, penulis menghubungkannya dengan teori modernisasi, dimana modernisasi merupakan perubahan progresif[8], yaitu mengarah pada kemajuan-kemajuan yang hendak dicapai, dalam hal ini berarti kemajuan pendidikan yang bersifat universal. Di dalam modernisasi melibatkan proses yang terus-menerus (immanent). Karena modernisasi bersifat sistematik dan transformatik, proses modernisasi melibatkan perubahan sosial yang terus menerus dalam sistem sosial[9]. Kemudian menurut Inkeles salah satu ciri dari manusia modern adalah pendidikan, karena pendidikan merupakan faktor yang terpenting yang mencirikan manusia modern. Disini apabila kita hubungkan dengan pembahasan diatas, jelas bahwa kemajuan pendidikan yang mengarah pada globalisasi dapat dikatakan telah mengarah pada modernisasi. Dimana didalam modernisasi akan terjadi perubahan-perubahan dari tradisional menuju modern, seperti yang terjadi pada Sekolah Bertaraf Internasional, yang menggunakan pengantar dengan bahasa inggris sehingga bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia dikesampingkan, ini merupakan salah satu bentuk perubahan yang terjadi. Kemudian apabila kita lihat dari segi sarana dan prasarananya yang telah mengarah pada teknologi yang canggih sehingga alat-alat tradisional ditinggalkan dan lebih mengutamakan teknologi yang penggunaanya lebih cepat, praktis dan memiliki kualitas tinggi. Ini merupakan dampak dari globalisasi yang akan mengarah pada ke-modernan.


DAFTAR PUSTAKA
Sumber bacaan:
Meilanie, Sri Martini. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ. 2010. Pokok-pokok Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Edisi Revisi. Jakarta: Jurusan MKU FIS.
Y.SO, Alvin, Suwarsono. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Sumber lain:



[1] Alvin Y.SO dan Suwarsono. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Hlm 21
[2] Diakses melalui  http://duniabaca.com/definisi-globalisasi-ciri-ciri-globalisasi.html, pada 30 Desember 2011, pukul 20.00 WIB
[3] Diakses melalui http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/09/kapitalisme-pendidikan/. Pada 30 Desember 2011, pukul 20.15 WIB
[4] Sri Martini Meilanie. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK). 2009. Hlm 66
[5]  Diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan. Pada 24 Desember 2011, pukul 13.47 WIB
[6] Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ. Pokok-pokok Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Edisi Revisi. Jakarta: Jurusan MKU FIS. 2010.  Hlm 185
[8] Alvin Y.SO dan Suwarsono. op.cit., hlm. 22
[9] Ibid., hlm. 23

Senin, 02 Januari 2012

FUNGSI MANIFEST PENDIDIKAN (Pendidikan Sebagai Agen Kontrol Sosial)

BAB I
PENDAHULUAN



Latar Belakang
Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang berperan penting di dalam penyaluran bakat-bakat setiap individu, dimana di dalam pendidikan terdapat fungsi-fungsi yang akan mengarahkan individu pada kedewasaan baik secara fisik maupun mental. Selain itu, tujuan dari pendidikan itu bukan saja pada pemberian materi-materi sebagai landasan pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan mempengaruhi perkembangan intelektual anak saja tetapi juga harus mengarah pada pembentukan moral dari peserta didik tersebut. Dalam hal ini, peran sekolah khususnya peran pendidik (guru) sangatlah berpengaruh untuk tercapainya tujuan dari pendidikan tersebut.
 Pada perkembangannya, pendidik (guru) bukan lagi sepenuhnya aktif di dalam kelas tetapi sistem sekarang telah mengarahkan, bahwa pendidik sebagai fasilitator, artinya proses pembelajaran sepenuhnya yang aktif siswanya, pendidik hanya memfasilitasi, mengarahkan dan memotivasi. Hal ini bertujuan agar proses belajar mengajar dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan, serta terjadi kondisi belajar yang efektif di dalam kelas.
Didakam hal ini, pendidikan berfungsi sebagai agen kontrol sosial, dimana didalam menjalankan fungsinya sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu mengontrol (mengendalikan) para peserta didik untuk menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Setiap sekolah mempunyai program yang berbeda-beda tetapi mengacu pada kurikulum yang sama meskipun pada kenyataannya setiap guru diberikan kewenangan untuk menyusun program belajarnya sendiri yang disesuaikan dengan keadaan daerahnya seperti yang tertera di dalam kurikulum 2004 bahwasanya: “guru diberikan kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah[1]”. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa setiap sekolah diberikan kewenangannya masing-masing di dalam menyusun program-program yang akan dicapai. Baik di pedesaan maupun diperkotaan pada dasarnya fungsi pendidikan sama mungkin yang membedakan hanya pada lingkungan dan cara sosialisasinya saja.
Menurut Robert Dreeben berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah, di samping membaca, menulis dan berhitung – adalah aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity)[2]. Dengan demikian, sekolah sangat berperan penting di dalam proses sosialisasi, sekolah juga yang merupakan lembaga pendidikan, dimana di dalam pendidikan memiliki fungsi sebagai kontrol sosial. Kontrol sosial merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku[3]. Dalam hal ini tentunya lebih menekankan pada pengendalian terhadap siswa, dengan adanya pengendalian sosial yang baik dari pihak sekolah diharapkan mampu meluruskan para siswa yang berperilaku menyimpang / membangkang. Tetapi apakah sekolah mampu menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial ? Hal ini tentu perlu ditinjau kembali, dan harus ada kerjasama yang baik antara sekolah dengan para siswa disekolah tersebut, serta pihak-pihak lain yang terkait.

Identifikasi Masalah
Pendidikan saat ini semakin mengalami kemajuan dan perkembangan berpengaruh juga pada perkembangan peserta didik. Dimana metode maupun sarana dan prasarananya semakin mengarah lebih baik seiring perkembangan tersebut. Disini yang akan kita soroti adalah pada pendidikan di perkotaan, dimana di dalam pendidikan di perkotaan mungkin akan memiliki perbedaan-perbedaan, seperti misalnya masalah kelengkapan sarana dan prasarananya serta fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya. Kelengkapan tersebut tidak menjamin berhasilnya proses belajar mengajar, karena proses belajar mengajar tidak hanya di dukung oleh kelengkapan dari sarana dan prasarana saja tetapi juga dari metode yang diberikan serta dari ke aktifan peserta didik. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan sebagai pembentukan kemampuan intelektual saja tetapi juga mengarah pada pembentukan moral. Banyak kasus tentang kenakalan remaja (pelajar) yang sering kita jumpai pada media-media, ini akibat kurangnya penanaman moral baik dari keluarga maupun sekolah.
Usia remaja merupakan usia yang sangat rentan, dimana pada usia-usia tersebut keingin tahuannya sangat tinggi, ini bisa membahayakan apabila tidak adanya bimbingan sebagai pedoman untuk mengarahkan, kearah yang baik. Peran orang tua dan sekolah saja tidak cukup untuk hal tersebut, karena ada satu lagi yang pengaruhnya sangat besar yaitu teman sepermainan. Teman sepermainan merupakan agen sosialisasi yang besar pengaruhnya di dalam pembentukan kepribadian anak. Seperti contoh kasus tawuran  yang terjadi di SMP 79 Kemayoran, Jakarta Pusat. Berawal dari saling ejek antara pelajar SMP 79 dengan SMP 269 di jalan Angkasa Ujung, Kemayoran, Jakarta Pusat pada senin 12 September 2011 sekitar pukul 15.30 WIB[4]. Dari contoh kasus tersebut, dapat dambil kesimpulan bahwa rasa solidaritas terhadap teman sangat tinggi sehingga permasalahan antara individu dapat menjadi permasalahan bagi sebuah kelompok akibat dari tingginya rasa solidaritas antara anggota kelompok, sementara mereka belum bisa membedakan hal-hal yang seharusnya dilakukan/dicarikan solusinya, yang menyebabkan terjadinya tawuran antar kelompok/pelajar.


Pembatasan Masalah
Salah satu peran sekolah seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasanya sekolah harus mampu menjadi pengendali/kontrol sosial, dimana setiap sekolah harus mampu mengendalikan para siswanya untuk berperilaku sebagaimana mestinya. Didalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial apakah sekolah telah mampu menjadi pengendali bagi para siswanya ? Dalam hal ini tentu mengacu pada pengendalian terhadap siswa terutama siswa yang terlibat masalah tawuran yang sering kita jumpai pada pelajar-pelajar di perkotaan. Dimana di perkotaan sarat akan terjadinya tawuran, terutama antar pelajar. Kenapa tawuran antar pelajar lebih sering terjadi di perkotaan? Sebenarnya apa yang menyebabkan terjadinya tawuran tersebut ? Bagaimana peran sekolah sebagai lembaga  pendidikan dalam menangani tawuran?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin yang akan terlontar di benak kita, karena pada dasarnya lembaga pendidikan (sekolah) mempunyai tujuan yang sama yaitu salah satu fungsinya adalah sebagai pengendali, pengendali disini merupakan  segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku ( Soerjono Soekanto,2000)[5]. Dari pengertian tersebut telah jelas bahwa sekolah juga mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mengontrol/mengendalikan para siswanya agar tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku, sehingga akan tercipta kondisi yang aman, nyaman dan harmonis. Hal seperti ini sulit di terapkan jika tidak adanya kerjasama diantara anggota-anggota yang terkait, dalam hal ini anggota-anggota yang terkait tersebut adalah dari pihak sekolah, para siswa, orang tua serta peraturan yang jelas. Peraturan disini juga harus jelas, karena peraturan-peraturan yang telah di tentukan merupakan suatu bentuk konkret dari norma-norma yang ada di sekolah.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat kita ambil adalah, yang pertama kita lihat peran sekolah sebagai lembaga pendidikan, apakah sudah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Disini mungkin peran sekolah sebagai pengendali/kontrol sosial. Kita dapat merumuskan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana peran sekolah di dalam mencegah terjadinya tawuran?
2.      Apabila kita telaah lebih jauh, kenapa tawuran antar pelajar sering terjadi di perkotaan?
3.      Apa yang melatarbelakangi terjadinya tawuran?
4.      Pihak-pihak mana sajakah yang terkait dalam mengatasi tawuran antar pelajar?

Teori dan Konsep
Jika kita kaji menurut sudut pandang sosiologi tentang tawuran, bahwasanya tawuran merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosioal. Menurut James W. Van der Zanden penyimpangan perilaku merupakan tindakan yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi[6].
Pada dasarnya fungsi sekolah bukanlah untuk membentuk atau mendidik individu (peserta didik) kearah penyimpangan tetapi lebih mengarahkan mereka pada penyampaian pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda, mengurung anak-anak di satu kompleks selama sekitar beberapa jam, sehingga tidak merepotkan orang tua atau membahayakan lalulintas, saling mmpertemukan orang yang sebelumnya tidak dikenal, membuat orang mengalami beberapa pengaruh yang berperan untuk membentuk kepribadian mereka dan lain-lain. Juga tidak dilupakan akan adanya hal-hal negatif yang timbul dari suatu fenomena sosio-budaya yang mungkin tidak disadari orang adalah termasuk dalam konsep ”fungsi”. Misalnya, suatu sistem pendidikan tertentu dapat mengakibatkan tertundanya proses pendewasaan para remaja, menghambat pemikiran individual, mengakibatkan ketergantungan yang lebih lama atau suatu kultus guru yang berlebih-lebihan[7]. Disini jelas bahwa sekolah mempunyai fungsi-fungsi tertentu seperti yang telah disebutkan diatas. Jika dikaitkan dengan teori struktural fungsional bahwa sekolah merupakan suatu sistem yang teratur, teori struktural fungsional menyebutkan bahwa fungsi sekolah itu mengutamakan keteraturan sosial. Keteraturan disini adalah bahwa sekolah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Didalam struktural fungsional selalu beranggapan bahwa masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatis, dan gangguan pada salah satu bagian cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas[8]. Tetapi pada kenyataannya, masyarakat tidak selalu dalam keadaan keseimbangan, seperti dalam kasus tawuran, tawuran adalah suatu bentuk penyimpangan yang terjadi karena tidak tercapainya fungsi sekolah sebagai pengendali, akibatnya terjadi disfungsional awal dari terjadinya konflik. Dibawah ini adalah gambaran dari yang telah dipaparkan:









BAB II
PEMBAHASAN


Definisi Tawuran
Tawuran merupakan perilaku menyimpang yang di lakukan oleh sekelompok orang maupun sekelompok pelajar, seperti yang di sebutkan oleh Soerjono Soekanto tentang deviant yang di integrasikan dengan kasus tawuran antar pelajar, dalam teorinya ia menyebutkan bahwa deviation adalah penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Serta melihat relevansi teori konflik Lewis Coser yang menyatakan konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk memperjuangkan nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka pada kelompok lain[9].
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa tawuran merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai persatuan, karena tawuran dapat menyebabkan disintegrasi, dan ini sangat tidak sesuai dengan dasar Negara Indonesia yaitu pancasila tepatnya pada sila ke-3 yang berbunyi: “Persatuan Indonesia”. Dengan demikian tawuran bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan melainkan suatu bentuk penyimpangan yang harus dihilangkan, agar nilai persatuan dan kesatuan antar golongan terwujud sehingga terjadi integrasi didalamnya.

Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anaknya
Keluarga merupakan agen sosialisasi primer, karena pertama kali seorang anak berinteraksi yaitu dengan keluarga, di dalam interaksi ini akan terjadi sosialisasi nilai-nilai yang kemudian akan terinternalisasi oleh anak. Peran keluarga sangat berpengaruh tehadap pembentukan kepribadian anak, dimana seorang anak akan meniru apa yang ia lihat. Penanaman nilai-nilai dari keluarga merupakan suatu fondasi awal bagi anak didalam mengenal tata cara dan aturan-aturan yang ada dimasyarakat, biasanya nilai-nilai yang diperkenalkan pertamakali didalam lingkungan keluarga adalah nilai-nilai agama, sopan santun dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut yang kemudian terinternalisasi didalam diri anak. Tetapi perlu di ingat juga bahwa selain keluarga juga ada lingkungan dan teman sepermainan yang berpengaruh terhadap pola pikir anak.
Peran keluarga (orang tua) disini sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak, keluarga sebagai jembatan untuk mensosialisasikan nilai-nilai, karena keluarga memiliki peran. Peran disini merupakan aspek dinamis kedudukan atau status. Artinya peran adalah suatu perikalu yang diharapkan oleh pihak lain dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan status yang dimilikinya, karena tidak ada peran tanpa status begitupula sebaliknya[10]. Dengan demikian keluarga memiliki tanggung jawab didalam mengarahkan anaknya kearah yang benar. Dibawah ini akan diuraikan bagan tentang proses sosialisasi yang berpengaruh terhadap kepribadian anak, yaitu sebagai berikut:
 








                                                                                                                                                                                       
                                                                                                                      sumber: hasil olahan sendiri

Dari bagan diatas bahwa keluarga dan sekolah mensosialisasikan nilai kepada anak yang selanjutnya akan terinternalisasi, sementara teman sepermainan, lingkungan dan media massa merupakan agen sosialisasi yang mempengaruhi. Apabila kita mengacu pada kasus tawuran antar pelajar, seperti yang telah disebutkan diatas, bahwasannya terjadinya tawuran didasari atas rasa solidaritas terhadap teman sepermainan, rasa solidaritas tersebut yang menyebabkan perseteruan antar kelompok. Dari data yang didapat dan melalui informasi dari media, bahwa tawuran sering terjadi di perkotaan, penyebabnya karena kurangnya pengawasan dari keluarga, lingkungan yang kurang baik, serta media massa yang mempertontonkan hal-hal yang berdampak negatif, sementara anak pada usia remaja kurang bisa didalam mengontrol kehendaknya.

Peran Sekolah Dalam Mengatasi Tawurann
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tentu sangat berperan di dalam mengawasi para siswanya, karena itu merupakan suatu kewajiban sekolah sebagai agen kontrol sosial. Dimana didalam tujuan yang terkadung dalam kontrol sosial adalah penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku, sehingga para siswa tidak terlibat dalam perilaku-perilaku yang menyimpang, karena tujuan dari pendidikan adalah harus adanya keseimbangan antara intelektual dengan spiritual. Seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR No.IV/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menyatakan: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”[11]. Dari yang telah disebutkan diatas, jelas bahwa “tawuran” bukan merupakan karakter dari bangsa Indonesia.
Disini sekolah juga merupakan salah satu agen sosialisasi yang sangat berperan penting di dalam pembentukan kepribadian anak, melalui sekolah ia dapat menemukan hal-hal baru yang tidak di temukan pada keluarga dan teman sepermainan. Dimana, sekolah lebih mempersiapkannya untuk peran-peran baru dimasa mendatang, selain itu sekolah juga memperkenalkan nilai-nilai seperti penanaman rasa tanggung jawan, kemandirian, dan lain-lain yang bertujuan agar anak dapat menemukan perannya saat tidak lagi bergantung pada orang tua.
Peran sekolah di dalam mencegah terjadinya tawuran yaitu dengan lebih menekankan pada pembentukan karakter yang berasaskan pada persatuan dan kesatuan, berbudi pekerti baik dan penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma. Tetapi pada kenyataannya mungkin tujuan tersebut sulit untuk dicapai kalau tidak adanya kerjasama antara sekolah, orang tua dan para siswanya. Karena sekolah merupakan suatu wadah untuk menjembatani individu didalam mencapai cita-citanya, sedangkan untuk tercapainya suatu tujuan-tujuan diatas dikembalikan lagi pada individu masing-masing. Dibawah ini adalah beberapa solusi untuk mencegah terjadinya tawuran, yaitu sebagai berikut:
1.    Sekolah menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial
2.    Sanksi tegas terhadap siswa yang terlibat tawuran, bila perlu pihak sekolah mengeluarkan (DO) pada siswa yang terlibat tawuran
3.    Sekolah mengadakan bimbingan-bimbingan yang bertujuan membentuk karakter baik pada diri para siswa (pendidikan karakter)
4.    Sekolah bekerjasama dengan para orang tua (wali murid), untuk selalu mengawasi anak
Dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, sebenarnya sekolah khususnya pendidik (guru) harus mengacu pada fungsi yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan hendaknya menjadi contoh/teladan (ing ngarso sun tulodo), menjadi penggerak (ing madyo mangun karso) dan mengikuti sambil mengawasi dari belakang (tut wuri handayani)[12].

BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah di uraikan bahwa sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang berperan penting di dalam penyaluran bakat-bakat setiap individu, dimana di dalam pendidikan terdapat fungsi-fungsi yang akan mengarahkan individu pada kedewasaan baik secara fisik maupun mental. Selain sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berperan didalam menyalurkan bakat-bakat, pendidikan juga berfungsi sebagai agen kontrol sosial, dimana didalam menjalankan fungsinya sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu mengontrol (mengendalikan) para peserta didik untuk menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sekarang ini, pendidikan mengalami banyak sekali kemajuan yang berpengaruh pada perkembangan peserta didik. Jika kita lihat pendidikan di perkotaan, tentu sangat jelas berbeda dengan pendidikan di pedesaan. Dari segi sarana dan prasarana serta fasilitas. Tapi itu tidak menjamin berhasilnya proses belajar mengajar. Seperti yang telah disebutkan, tujuan pendidikan tidak hanya dalam segi intelektualnya saja tapi juga mengarah pada pembentukan moral. Jika kita kaji menurut sudut pandang sosiologi tentang tawuran, bahwasanya tawuran merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma. Untuk itu pendidikan harus mampu menekankan pada pembentukan karakter yang berasaskan pada persatuan dan kesatuan, berbudi pekerti baik dan penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma.
Peran sekolah di dalam mencegah terjadinya tawuran yaitu dengan lebih menekankan pada pembentukan karakter yang berasaskan pada persatuan dan kesatuan, berbudi pekerti baik dan penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma.
Saran
Saran yang ingin kami sampaikan berkaitan dengan masalah kenakalan ramaja khususnya pada tawuran antar pelajar, agar semua agen sosialisasi dapat bekerjasama dalam proses pensosialisasian pada para remaja yang pada hakekatnya remaja itu berada dalam kondisi yang rentan, rentan disini maksudnya adalah bahwa usia remaja rasa keingintahuannya tinggi sementara ia belum bisa mengontrol dirinya sendiri. pada saat ini remaja harus di bimbing agar tidak terjerumus pada hal-hal yang berdampak negatif. Padahal usia remaja merupakan usia yang masih tinggi daya ingatnya sehingga ia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Jika hal tersebut di bina dengan baik dapat menjadi point positif baginya.
Dalam kaitannya dengan masalah tawuran antar pelajar, pihak sekolah dan keluarga harus bekerja sama dalam menanganinya. perlu diadakannya bimbingan-bimbingan yang memberikan motivasi pada siswa, agar siswa tremotivasi untuk belajar atau melakukan kegiatan-kegiatan yang positif dari pada melakukan hal-hal negatif yang dapat merugikan bahkan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Kegiatan-kegiatan ekstrakulilikuler di sekolah juga dapat memberikan nilai positif bagi siswa, karena dengan mengikuti ekstrakulikuler siswa memiliki kegiatan yang mengurangi aktifitas-aktifitas yang hanya dapat memberikan nilai negatif pada dirinya sendiri.  










DAFTAR PUSTAKA

Sumber Bacaan:
Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis
Meilanie, Sri Martini. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Nazsir, Nasrullah. 2009. Teori-teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran
Soekanto, Soerjono. 2009. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers


Sumber Lain:



[1] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Hlm 4
[2] Kun Maryati, Juju Suryawati. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis, 2007. Hlm 106
[4] Diakses melalui http://ohayou-wi.blogspot.com/2011/10/tugas-3ilmu-sosial.html. Pada 6 Desember 2011, pukul 20.35 WIB
[5] Diakses melalui http://psychemate.blogspot.com/2007/12/kontrol-pengendalian-sosial.html. Pada 3 Desember 2011, pukul 20.05 WIB
[6] Kun Maryati, Juju Suryawati. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis, 2007. Hlm 121

[7] Nasrullah Nazsir.Teori-teori Sosiologi. Bandung:Widya Padjajaran,2009.Hlm 11
[8] Ibid, hlm. 10
[9] Diakses melalui http://adeadhari.blogspot.com/2011/05tawuran-dalam-sudut-pandang-hukum-dan.html. Pada 6 Desember 2011, pukul 20.30 WIB
[10] Kun Maryati, Juju Suryawati, op.cit., hlm. 70.
[11] Sri Martini Meilanie. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK). 2009. Hlm 66
[12] Ibid, hlm. 18