Perubahan Sosial di Yogyakarta
Banyak peneliti-peneliti yang meneliti berbagai fenomena
tentang kehidupan politik, sosial dan ekonomi di indonesia sebelum perang. Bahkan
banyak peneliti dari luar yang tertarik untuk meneliti masalah-masalah yang ada
di indonesia. Hal ini membuat banyaknya penelitian-penelitian/riset-riset yang
telah dilakukan orang Barat di indonesia, sehingga dapat memperlihatkan cara
pandang orang Barat terhadap penelitian yang mereka lakukan. Perbedaan-perbedaan
di dalam penelitian yang dilakukan biasanya dilatarbelakangi oleh latar
belakang budaya peneliti. Hal ini lah yang membedakan pemaparan dari hasil
penelitian setiap orang, karena setiap orang mempunyai sudut pandangnya
masing-masing terhadap suatu fenomena yang ada di dalam masyarakat.
Di dalam buku yang di tulis Selo Soemardjan ini, yang
berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta” dikemas dalam suatu pemaparan yang
terperinci, karena penulis melakukan riset mulai bulan agustus 1958 hingga
januari 1959[1]
serta observasi dan wawancara, penulis juga melakukan pengumpulan data dengan
meneliti berbagai dokumen resmi serta koran-koran setempat[2], sehingga
data-data yang terkumpul berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan. Penulis
juga terjun langsung ke lapangan dan hidup ditengah-tengah masyarakat yang
menjadi objek penelitian, yaitu dengan tinggal bersama penduduk setempat untuk
memperoleh data yang diharapkan penulis. Dengan seperti itu, penulis dapat
mengetahui informasi-informasi terirat maupun tersurat, karena bukan hanya
data-data yang diperoleh tetapi juga berdasarkan pengamatan dan sudut pandang
penulis maupun informan.
Adapun teknik wawancara yang dilakukan oleh penulis di
dalam tulisan ini, yaitu wawancara sambil lalu dan observasi partisipan. Penulis juga melakukan pengelompokan di dalam
wawancara yang dilakukannya, melalui dua cara yaitu perorangan dan kelompok.
Perorangan dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah ataupun perkantoran agar
memperoleh pandangan informan ataupun data-data khusus yang diketahui oleh
informan.[3] Penelitian
secara kelompok dilakukan dengan mengumpulkan orang-orang yang berasal dari
kerabat penduduk yang ditempati peneliti. Sehingga dapat dengan mudah
mengumpulkan orang-orang (penduduk setempat) dengan seperti itu, maka penulis
dapat dengan mudah mengelompokkan informan berdasarkan status sosialnya. Seperti
halnya suatu penelitian, ketika ingin meneliti secara mendalam maka ia harus
mengamati secara mendalam bahkan ikut merasakan apa yang terjadi di dalamnya. Lingkup pengamatan di bacaan
tersebut mencakup ruang atau tempat, pelaku, aktivitas, benda atau alat, serta peristiwa yang terjadi.
Teknik pengamatan dengan keterlibatan peneliti didalam
pengamatan yang dilakukannya, yaitu didalam kehidupan masyarakat yang
ditelitinya (Participant Observation) menggambarkan bahwa peneliti mengamati
secara mendalam tentang kehidupan yang ada di masyarakat Yogyakarta. Sehingga
dengan begitu, penulis dapat mengetahui perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat Yogyakarta. Namun, didalam penelitiannya penulis mengalami kendala
karena telah banyak masyarakat yang mengetahui identitas ia sebagai pamong
praja sehingga masyarakat menilai status penulis.
Dengan melalui teknik pengamatan ini, penulis dapat
dengan mudah memahami dan mempelajari gejala yang ada di masyarakat, terutama
mengenai perubahan sosial yang menjadi pokok penelitian yang dilakukan penulis,
karena penulis hidup ditengah-tengah masyarakat yang ditelitinya. Sehingga
penulis dapat mempelajari dan memahami kebudayaan masyarakat setempat melalui
kehidupan sehari-hari mereka. Dalam penelitian ini penulis (Selo Soemardjan)
mencoba memahami gejala yang terjadi di masyarakat, dengan melakukan pendekatan
mendalam terhadap informan serta mendengarkan informasi-informasi serta
pandangan informan (emik), yang kemudian ia rangkum dan tarik kesimpulan
melalui sudut pandanganya (etik). Jadi dalam metode pengamatan ini dilakukan
pendeskripsian terhadap pola-pola kehidupan masyarakat sehingga dapat diketahui
perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalamnya. Terlihat dari pemaparan
penulis yang memaparkan tentang perubahan sosial dalam proses perubahan
vertikal dan dalam proses perubahan horizontal.
Di dalam hasil pengamatan Selo Soemardjan tentang
“Perubahan Sosial di Yogyakarta”, dia menggunakan teknik pendeskripsian secara
naratif dengan mendeskripsikan setiap gejala yang ada serta menggabungkan unsur
emik dan etik. Sehingga terlihat pemaparan yang terperinci. Terlihat dari pengamatannya
yang selalu melihat dari sudut pandang informan dan sudut pandangnya sendiri. Sehingga
adanya penggabungan unsur-unsur emik dan etik yang digunakan penulis di dalam
penelitiannya. Hal ini dapat terlihat jelas dari pemaparan penulis pada saat
teknik pengambilan data yang dilakukan, yaitu dengan wawancara mendalam kepada
informan untuk meminta sudut pandangnya (informan) terhadap peristiwa yang
terjadi.
Dalam tulisan Selo Soemardjan “Perubahan Sosial di
Yogyakarta” juga menggunakan riwayat hidup dari informan yang ditelitinya.
Terlihat dari penjelasan mengenai sejarah pemerintahan di keraton Yogyakarta,
yang dijelaskan secara terperinci dari mulai awal pembentukan, perjanjian yang
dilakukan Belanda sampai pada pergantian nama dari Pangeran Mangkubumi memakai
nama Hamengkubuwono.
Gaya pembandingan yang di paparkan oleh penulis menurut pendapat
saya melalui pembandingan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat dari cara
pemaparan penulis yang memaparkan dari awal masa kolonial sampai pada
terjadinya perubahan-perubahan sosial di Yogyakarta. Penulis memaparkan
berbagai peristiwa, mulai dari peristiwa sejarah, pola interaksi
sosial, keadaan fisik, dan budaya pada masyarakat
setempat. Namun, penulis juga tidak melupakan setiap pandangan-pandangan (sudut
pandang) dari informan. Ini yang menjadikan penelitian yang dilakukan penulis
relevan dengan situasi yang ada di masyarakat, dari awal mula (asal-muasalnya)
sampai mengalami perubahan-prubahan sosial di masyarakat Yogyakarta.
Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki sumber
rujukan di dalamnya, baik untuk memperkuat gagasan maupun sebagai sumber
argumen yang akan di paparkan di dalamnya. Dalam “Perubahan Sosial di
Yogyakarta” tinjauan pustaka digunakan sebagai konsep dan landasan teori yang untuk
memperkuat gagasan yang dipaparkan oleh penulis. Kemudian, juga sebagai acuan untuk
memperkuat penelitian di dalam tulisan ini. Berikut beberapa tinjauan pustaka
yang digunakan Selo Soemardjan, diantaranya adalah sebagai berikut;
Thomstein Veblen, The Theory of the Closs (New York:
Viking Press, Inc., 1922). Tinjauan pustaka ini digunakan sebagai konsep di
dalam menjelaskan perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Ini juga
digunakan sebagai penunjang argumen penulis (unsur-unsur etik) di dalam
penelitiannya. Tinjauan pustaka ini juga menjelaskan mengenai penyebab
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Seperti yang di kutip dalam ulasan
teoritis (bagian kesimpulan), “penemuan-penemuan dan inovasi teknologis,
apabila diterapkan dalam skala yang cukup besar, mungkin akan menimbulkan suatu
tatanan baru dalam kehidupan ekonomi dan
dengan demikian bisa menimbulkan perubahan menuju apa yang disebut Veblen
kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak”. Tidak hanya itu, penulis juga
menggunakan tinjauan pustaka Robert M. Maclver dan Charles H. Page, dalam
Society: An Introductory Analysis (New York: Rinehart and Company, Inc., 1949)
yang dijadikan bahan acuan di dalam penelitiannya, yang di dalamnya lebih
memaparkan tentang perubahan sosial, lebih tepatnya faktor-faktor perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat. Ini jelas sangat mendukung serta menunjang
bagi penelitian yang ia lakukan. Penulis juga menggunakan konsep “Pelopor
perubahan (agents of change) yang digunakan oleh peneliti lain dalam arti yang
berlainan” Norman F. Washburne, dalam interpreting
social Change in America (Garden City, N.Y.: Doubleday and Company, 1954).
Bahwa perubahan sosial memerlukan penyesuaian kembali struktur kelembagaan lainnya.
Di dalam tulisan “Perubahan Sosial di Yogyakarta”
dideskripsikan juga kepercayaan atau keyakinan tentang cerita rakyat, yang
memiliki keterkaitan dengan sistem politik yang ada di masyarakat setempat.
Cerita rakyat tersebut sampai sekarang masih berlangsung dan ada di masyarakat.
Kepercayaan yang dianut masyarakat setempat adalah mengenai sistem
pemerintahan, bahwa yang memimpin selanjutnya harus dari atau turunan asli Sultan
Hamengkubuwono. Ini yang menjadi
kepercayaaan masyarakat setempat. Masyarakat setempat juga mempercayai adanya
kekuatan magis. Masyarakat setempat mempercayai adanya kekuatan magis pada
pusaka-pusaka tertentu dalam istana Sultan (tombak, keris atau panji) yang
menjadikan seorang Sultan berhak memerintah. Bahkan ada kepercayaan bahwa tanpa
adanya itu semua seorang sultan tidak akan bisa memperoleh kepercayaan dan
kesetiaan rakyat, sehingga dengan demikian ia tidak dapat memerintah kerajaan.
Hal tersebut disebut sebagai foklor, sebagaimana yang
terdapat di dalam tulisan ini, yaitu ada suatu tradisi yang diturunkan secara
turun-temurun. Kemudian hal tersebut dijadikan pedoman di dalam sistem
masyarakat setempat dan memiliki nilai-nilai secara turun-temurun. Hal ini
dapat dilihat dalam kutipan “Pangeran Mangkubumi akan memakai nama Hamengkubuwono
dan hanya keturunan sahnya yang berhak menduduki tahta kerajaan”.[4] Walaupun
demikian, rakyat sangatlah patuh akan perintah-perintah yang diutarakan
pemimpinnya (Sultan), sehingga Belanda memanfaatkan situasi seperti ini, yaitu
memperdaya yang pada saat itu menjadi Sultan untuk menjalankan misi-misinya. Dengan
menempatkan Sultan tetap pada posisinya, namun dibawah pengawasannya. Hal ini dimaksud supaya memberi kesan kepada
rakyat, bahwa mereka masih diperintah oleh raja mereka sendiri, karena pada
saat itu Belanda mengetahui kepatuhan rakyat terhadap penguasanya, sehingga
dapat dikatakan bahwa sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa identik dengan sejarah
para penguasanya.
Sistematika di dalam buku yang di tulis oleh Selo
Soemardjan mengenai “Perubahan Sosial di Yogyakarta” di tulis secara
terperinci. Yaitu di awali dengan pemaparan daerah Yogyakarta itu sendiri yang
dipaparkan pada bagian awal, yang terdiri dari; pembagian wilayah pemerintahan
dan penduduk. Kemudian pada bagian kedua dipaparkan mengenai masa pemerintahan
Yogyakarta di bawah rezim Belanda. Bagian ketiga memaparkan masa pendudukan
Jepang. Bagian keempat, memeparkan Yogyakarta sejak kemerdekaan. Bagian kelima,
tentang pemerintahan dan masyarakat sejak kemerdekaan. Bagian selanjutnya yaitu
memaparkan tentang perubahan-perubahan sosial yang terjadi, dimulai dari
pembangunan ekonomi sampai pada pendidikan yang merupakan salah satu pemicu
perubahan sosial. Hal ini menjadikan sistematika di dalam buku “Perubahan
Sosial di Yogyakarta” terperinci, karena penulis memaparkan dari awal pemerintahan
yaitu pada masa kolonial sampai terjadinya perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat.