kursor berjalan

Senin, 27 Mei 2013

Laporan Hasil Bacaan Etnografi


Perubahan Sosial di Yogyakarta
Banyak peneliti-peneliti yang meneliti berbagai fenomena tentang kehidupan politik, sosial dan ekonomi di indonesia sebelum perang. Bahkan banyak peneliti dari luar yang tertarik untuk meneliti masalah-masalah yang ada di indonesia. Hal ini membuat banyaknya penelitian-penelitian/riset-riset yang telah dilakukan orang Barat di indonesia, sehingga dapat memperlihatkan cara pandang orang Barat terhadap penelitian yang mereka lakukan. Perbedaan-perbedaan di dalam penelitian yang dilakukan biasanya dilatarbelakangi oleh latar belakang budaya peneliti. Hal ini lah yang membedakan pemaparan dari hasil penelitian setiap orang, karena setiap orang mempunyai sudut pandangnya masing-masing terhadap suatu fenomena yang ada di dalam masyarakat.
Di dalam buku yang di tulis Selo Soemardjan ini, yang berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta” dikemas dalam suatu pemaparan yang terperinci, karena penulis melakukan riset mulai bulan agustus 1958 hingga januari 1959[1] serta observasi dan wawancara, penulis juga melakukan pengumpulan data dengan meneliti berbagai dokumen resmi serta koran-koran setempat[2], sehingga data-data yang terkumpul berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan. Penulis juga terjun langsung ke lapangan dan hidup ditengah-tengah masyarakat yang menjadi objek penelitian, yaitu dengan tinggal bersama penduduk setempat untuk memperoleh data yang diharapkan penulis. Dengan seperti itu, penulis dapat mengetahui informasi-informasi terirat maupun tersurat, karena bukan hanya data-data yang diperoleh tetapi juga berdasarkan pengamatan dan sudut pandang penulis maupun informan.
Adapun teknik wawancara yang dilakukan oleh penulis di dalam tulisan ini, yaitu wawancara sambil lalu dan observasi partisipan.  Penulis juga melakukan pengelompokan di dalam wawancara yang dilakukannya, melalui dua cara yaitu perorangan dan kelompok. Perorangan dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah ataupun perkantoran agar memperoleh pandangan informan ataupun data-data khusus yang diketahui oleh informan.[3] Penelitian secara kelompok dilakukan dengan mengumpulkan orang-orang yang berasal dari kerabat penduduk yang ditempati peneliti. Sehingga dapat dengan mudah mengumpulkan orang-orang (penduduk setempat) dengan seperti itu, maka penulis dapat dengan mudah mengelompokkan informan berdasarkan status sosialnya. Seperti halnya suatu penelitian, ketika ingin meneliti secara mendalam maka ia harus mengamati secara mendalam bahkan ikut merasakan apa yang terjadi di dalamnya. Lingkup pengamatan di bacaan tersebut mencakup ruang atau tempat, pelaku, aktivitas, benda atau alat, serta peristiwa yang terjadi.
Teknik pengamatan dengan keterlibatan peneliti didalam pengamatan yang dilakukannya, yaitu didalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya (Participant Observation) menggambarkan bahwa peneliti mengamati secara mendalam tentang kehidupan yang ada di masyarakat Yogyakarta. Sehingga dengan begitu, penulis dapat mengetahui perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Yogyakarta. Namun, didalam penelitiannya penulis mengalami kendala karena telah banyak masyarakat yang mengetahui identitas ia sebagai pamong praja sehingga masyarakat menilai status penulis.
Dengan melalui teknik pengamatan ini, penulis dapat dengan mudah memahami dan mempelajari gejala yang ada di masyarakat, terutama mengenai perubahan sosial yang menjadi pokok penelitian yang dilakukan penulis, karena penulis hidup ditengah-tengah masyarakat yang ditelitinya. Sehingga penulis dapat mempelajari dan memahami kebudayaan masyarakat setempat melalui kehidupan sehari-hari mereka. Dalam penelitian ini penulis (Selo Soemardjan) mencoba memahami gejala yang terjadi di masyarakat, dengan melakukan pendekatan mendalam terhadap informan serta mendengarkan informasi-informasi serta pandangan informan (emik), yang kemudian ia rangkum dan tarik kesimpulan melalui sudut pandanganya (etik). Jadi dalam metode pengamatan ini dilakukan pendeskripsian terhadap pola-pola kehidupan masyarakat sehingga dapat diketahui perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalamnya. Terlihat dari pemaparan penulis yang memaparkan tentang perubahan sosial dalam proses perubahan vertikal dan dalam proses perubahan horizontal.
Di dalam hasil pengamatan Selo Soemardjan tentang “Perubahan Sosial di Yogyakarta”, dia menggunakan teknik pendeskripsian secara naratif dengan mendeskripsikan setiap gejala yang ada serta menggabungkan unsur emik dan etik. Sehingga terlihat pemaparan yang terperinci. Terlihat dari pengamatannya yang selalu melihat dari sudut pandang informan dan sudut pandangnya sendiri. Sehingga adanya penggabungan unsur-unsur emik dan etik yang digunakan penulis di dalam penelitiannya. Hal ini dapat terlihat jelas dari pemaparan penulis pada saat teknik pengambilan data yang dilakukan, yaitu dengan wawancara mendalam kepada informan untuk meminta sudut pandangnya (informan) terhadap peristiwa yang terjadi.
Dalam tulisan Selo Soemardjan “Perubahan Sosial di Yogyakarta” juga menggunakan riwayat hidup dari informan yang ditelitinya. Terlihat dari penjelasan mengenai sejarah pemerintahan di keraton Yogyakarta, yang dijelaskan secara terperinci dari mulai awal pembentukan, perjanjian yang dilakukan Belanda sampai pada pergantian nama dari Pangeran Mangkubumi memakai nama Hamengkubuwono.
Gaya pembandingan yang di paparkan oleh penulis menurut pendapat saya melalui pembandingan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat dari cara pemaparan penulis yang memaparkan dari awal masa kolonial sampai pada terjadinya perubahan-perubahan sosial di Yogyakarta. Penulis memaparkan berbagai peristiwa, mulai dari peristiwa sejarah, pola interaksi sosial, keadaan fisik, dan budaya pada masyarakat setempat. Namun, penulis juga tidak melupakan setiap pandangan-pandangan (sudut pandang) dari informan. Ini yang menjadikan penelitian yang dilakukan penulis relevan dengan situasi yang ada di masyarakat, dari awal mula (asal-muasalnya) sampai mengalami perubahan-prubahan sosial di masyarakat Yogyakarta.
Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki sumber rujukan di dalamnya, baik untuk memperkuat gagasan maupun sebagai sumber argumen yang akan di paparkan di dalamnya. Dalam “Perubahan Sosial di Yogyakarta” tinjauan pustaka digunakan sebagai konsep dan landasan teori yang untuk memperkuat gagasan yang dipaparkan oleh penulis. Kemudian, juga sebagai acuan untuk memperkuat penelitian di dalam tulisan ini. Berikut beberapa tinjauan pustaka yang digunakan Selo Soemardjan, diantaranya adalah sebagai berikut;
Thomstein Veblen, The Theory of the Closs (New York: Viking Press, Inc., 1922). Tinjauan pustaka ini digunakan sebagai konsep di dalam menjelaskan perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Ini juga digunakan sebagai penunjang argumen penulis (unsur-unsur etik) di dalam penelitiannya. Tinjauan pustaka ini juga menjelaskan mengenai penyebab perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Seperti yang di kutip dalam ulasan teoritis (bagian kesimpulan), “penemuan-penemuan dan inovasi teknologis, apabila diterapkan dalam skala yang cukup besar, mungkin akan menimbulkan suatu tatanan  baru dalam kehidupan ekonomi dan dengan demikian bisa menimbulkan perubahan menuju apa yang disebut Veblen kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak”. Tidak hanya itu, penulis juga menggunakan tinjauan pustaka Robert M. Maclver dan Charles H. Page, dalam Society: An Introductory Analysis (New York: Rinehart and Company, Inc., 1949) yang dijadikan bahan acuan di dalam penelitiannya, yang di dalamnya lebih memaparkan tentang perubahan sosial, lebih tepatnya faktor-faktor perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Ini jelas sangat mendukung serta menunjang bagi penelitian yang ia lakukan. Penulis juga menggunakan konsep “Pelopor perubahan (agents of change) yang digunakan oleh peneliti lain dalam arti yang berlainan” Norman F. Washburne, dalam interpreting social Change in America (Garden City, N.Y.: Doubleday and Company, 1954). Bahwa perubahan sosial memerlukan penyesuaian kembali struktur kelembagaan lainnya.
Di dalam tulisan “Perubahan Sosial di Yogyakarta” dideskripsikan juga kepercayaan atau keyakinan tentang cerita rakyat, yang memiliki keterkaitan dengan sistem politik yang ada di masyarakat setempat. Cerita rakyat tersebut sampai sekarang masih berlangsung dan ada di masyarakat. Kepercayaan yang dianut masyarakat setempat adalah mengenai sistem pemerintahan, bahwa yang memimpin selanjutnya harus dari atau turunan asli Sultan Hamengkubuwono. Ini yang menjadi kepercayaaan masyarakat setempat. Masyarakat setempat juga mempercayai adanya kekuatan magis. Masyarakat setempat mempercayai adanya kekuatan magis pada pusaka-pusaka tertentu dalam istana Sultan (tombak, keris atau panji) yang menjadikan seorang Sultan berhak memerintah. Bahkan ada kepercayaan bahwa tanpa adanya itu semua seorang sultan tidak akan bisa memperoleh kepercayaan dan kesetiaan rakyat, sehingga dengan demikian ia tidak dapat memerintah kerajaan.
Hal tersebut disebut sebagai foklor, sebagaimana yang terdapat di dalam tulisan ini, yaitu ada suatu tradisi yang diturunkan secara turun-temurun. Kemudian hal tersebut dijadikan pedoman di dalam sistem masyarakat setempat dan memiliki nilai-nilai secara turun-temurun. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan “Pangeran Mangkubumi akan memakai nama Hamengkubuwono dan hanya keturunan sahnya yang berhak menduduki tahta kerajaan”.[4] Walaupun demikian, rakyat sangatlah patuh akan perintah-perintah yang diutarakan pemimpinnya (Sultan), sehingga Belanda memanfaatkan situasi seperti ini, yaitu memperdaya yang pada saat itu menjadi Sultan untuk menjalankan misi-misinya. Dengan menempatkan Sultan tetap pada posisinya, namun dibawah pengawasannya.  Hal ini dimaksud supaya memberi kesan kepada rakyat, bahwa mereka masih diperintah oleh raja mereka sendiri, karena pada saat itu Belanda mengetahui kepatuhan rakyat terhadap penguasanya, sehingga dapat dikatakan bahwa sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa identik dengan sejarah para penguasanya.
Sistematika di dalam buku yang di tulis oleh Selo Soemardjan mengenai “Perubahan Sosial di Yogyakarta” di tulis secara terperinci. Yaitu di awali dengan pemaparan daerah Yogyakarta itu sendiri yang dipaparkan pada bagian awal, yang terdiri dari; pembagian wilayah pemerintahan dan penduduk. Kemudian pada bagian kedua dipaparkan mengenai masa pemerintahan Yogyakarta di bawah rezim Belanda. Bagian ketiga memaparkan masa pendudukan Jepang. Bagian keempat, memeparkan Yogyakarta sejak kemerdekaan. Bagian kelima, tentang pemerintahan dan masyarakat sejak kemerdekaan. Bagian selanjutnya yaitu memaparkan tentang perubahan-perubahan sosial yang terjadi, dimulai dari pembangunan ekonomi sampai pada pendidikan yang merupakan salah satu pemicu perubahan sosial. Hal ini menjadikan sistematika di dalam buku “Perubahan Sosial di Yogyakarta” terperinci, karena penulis memaparkan dari awal pemerintahan yaitu pada masa kolonial sampai terjadinya perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.


[1] Hlm 6
[2] Hlm 7
[3] Hlm 8
[4] Hlm 20

MONUMEN NASIONAL (MONAS) SEBAGAI ARENA WISATA EDUKASI YANG EKONOMIS


Pengantar
Paper ini menyajikan mengenai hasil pengamatan etnografi. Adapun lokasi dari pengamatan ini yaitu tugu monas (monumen nasional). Pengamatan ini dilakukan penulis pada tanggal 7 dan 11 April 2013. Penulis melakukan pengamatan selama dua hari yaitu pada hari minggu tanggal 7 April dan hari kamis tanggal 11 April, hal ini bertujuan agar penulis mengetahui perbandingan dari keramaian pengunjung pada hari libur dengan hari-hari biasa. Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengungkapkan etnografi dan fenomena yang terjadi di monumen nasional atau biasa disebut dengan “tugu monas”.
Monumen nasional atau monas merupakan icon kota jakarta yang dibangun pada masa pemerintahan Soekarno, tujuan dari pembuatan monas ini adalah untuk mengenang perlawanan dan perjuangan masyarakat indonesia, sehingga Soekarno memutuskan untuk membangun monumen nasional ini. Monumen nasional di bangun dari tanggal 17 Agustus 1961 dan di buka pada tanggal 12 Juli 1975, atas perintah dari Soekarno[1].
Letak keberadaan monas sangatlah strategis, karena monas terletak di jantung ibu kota Jakarta. Sebagai icon yang memiliki keindahan serta keunikan ini, monas dijadikan sebagai tempat wisata. Setiap harinya banyak pengunjung yang berbondong-bondong datang ke sana. Terlebih lagi pada hari-hari tertentu, misalnya pada hari-hari libur, monas dipenuhi banyak pengunjung. Mereka berasal dari berbagai daerah yang berbondong-bondong untuk hanya sekedar berkumpul bersama sanak saudara ataupun untuk menikmati keindahan tugu monas. keunikan tugu monas ini dapat terlihat dari bentuknya yang unik, karena di ujung/atasnya terdapat emas yang menjulang tinggi, sehingga dari kejauhan pun dapat terlihat kemilauan dari emas tersebut.
Keindahan monas tidak hanya  pada bangunannya yang megah serta halamannya yang luas, lebih jauh lagi apabila memasuki monas, di sana terdapat museum yang berguna sebagai arena edukasi. Di dalam museum ini terdapat beberapa gambar-gambar yang tembus pandang/tiga dimensi, yang disebut dengan diorama. Di mana diorama-diorama tersebut merupakan ilustrasi yang menceritakan/sesuai dengan kejadian pada saat perjuangan kemerdekaan. Hal ini yang menjadikan monas lengkap sebagai arena edukasi yang “murah”, karena semua kalangan dapat menjangkaunya.
Arena edukasi ini sangat bermanfaat bagi pengunjung yang ingin melihat bahkan mengetahui sejarah bangsanya sendiri.Terlebih lagi dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang menjadikannya menarik perhatian para pengunjung khususnya anak-anak. Di sini bukan hanya masyarakat lokal saja yang mengunjungi monas, tetapi para turis mancanegara pun sering mengunjungi tempat wisata ini. Keterjangkauan tempat wisata ini menjadikan monas diminati banyak pengunjung. Mulai dari kalangan menengah ke atas maupun kalangan menengah ke bawah.
Pada kondisi seperti ini, banyak pedagang asongan yang memanfaatkan situasi ini. Dapat terlihat, jika memasuki kawasan monas di sana banyak terdapat penjual-penjual dengan berbagai macam jualannya. Seperti berbagai aneka makanan, minuman, mainan anak-anak, baju-baju, layang-layang, penyewaan sepeda, bahkan jasa foto. Harganya pun cukup beragam, karena ada beberapa penjual yang mematok harga tinggi (dua kali lipat) dari harga biasa, tetapi ada juga penjual yang menetapkan harga standar. Di monas pun tersedia tempat parkir yang sangat luas, guna memudahkan para pengunjung menitipkan kendaraannya.
Wisata ke monas ini sangat menarik, karena selain monas sebagai tempat berwisata, monas juga merupakan arena edukasi yang relatif terjangkau. Terlihat dari berbagai pengunjung yang mengunjungi tempat wisata ini. Mulai dari mereka yang membawa kendaraan pribadi (baca: mobil, motor) sampai mereka yang datang bersama rombongannya atau pun yang menggunakan jasa angkutan umum (kereta, busway, taksi, dll). Dari sini dapat terlihat, bahwa monas banyak diminati, bukan hanya sekedar tempat berwisata tetapi juga dapat menjadi arena edukasi yang ekonomis.

Setting Wisata Edukasi Monas
Monumen nasional yang biasa disebut dengan monas ini merupakan inisiatif dari mantan Presiden RI, yaitu Soekarno, karena beliau ingin membangun sebuah bangunan yang mencirikan Jakarta, yang beliau sebut sebagai icon Jakarta. Inisiatif beliau yaitu monas sampai sekarang masih tetap terjaga keberadaannya, dan merupakan tempat wisata sekaligus arena edukasi yang ekonomis.
Monas terletak di ibu kota Jakarta (Jakarta pusat), sehingga monas merupakan salah satu tempat yang banyak diminati masyarakat, khususnya bagi masyarakat di luar ibu kota. Terlihat dari beberapa rombongan yang berkunjung ke monas saat hari-hari libur. Hal ini menandakan, daya tarik monas sebagai salah satu tempat wisata cukup tinggi.
Saat memasuki arena munumen nasional, akan terlihat pagar-pagar yang mengelilingi monas. Hal ini, menandakan adanya sebuah norma yang tak terlihat. Artinya, dengan adanya pagar-pagar yang mengelilingi monas ini, para pengunjung bisa tertib memasuki monas. Selain itu, di monas juga banyak terdapat pepohonan beserta rumput-rumput yang terawat, sehingga keindahan dan kebersihannya pun terjaga. Di antara pepohonan maupun halaman monas, terdapat tulisan-tulisan yang berisi peringatan seperti tulisan yang terdapat pada halaman depan monas, yang berisi peringatan untuk tidak merusak rumput-rumput yang ada di sekeliling monas.
Biasanya, halaman di sekitar monas ini, yang di tumbuhi banyak pepohonan merupakan tempat/arena para pengunjung untuk melihat keindahan monas atau pun sebagai sarana ngumpul-ngumpul, baik dengan keluarga maupun dengan kerabat, bahkan tidak sedikit yang membawa pasangannya. Para pengunjung, khususnya pada hari-hari libur terlihat memadati halaman monas, bahkan para pedagang yang menjajakan makanannya pun ikut memadati arena monas.
Ketika memasuki monas, para pengunjung harus melewati terowongan bawah tanah yang tidak begitu terang. Tempat loket tiket pun berada setelah kita melewati terowongan bawah tanah tersebut. Di sana terdapat beberapa petugas yang menjaga loket tersebut. memasuki monas, para pengunjung pun diperiksa kembali tiketnya, sebagai bukti telah melakukan transaksi. Ketika sampai pada pintu masuk pertama, maka di sana akan dijumpai museum monas yang merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah bangsa Indonesia.
Untuk memasuki lantai teratas monas/puncaknya monas, maka para pengunjung harus mengantre (apabila ramai) untuk memasuki lift. Ketika sampai di puncak, para pengunjung harus berdesak-desakan apabila monas dipenuhi banyak pengunjung, karena puncak teratas monas memiliki ruangan yang tidak begitu luas, sehingga para pengunjung harus bergantian melihat keindahan sekeliling monas dari puncak teratas tersebut. Di sana pun (puncak monas), terdapat penyewaan teropong yang berguna untuk melihat sekeliling monas secara jelas. Namun, untuk meminjamnya para pengunjung harus mengeluarkan kocek sebesar Rp1.000 (seribu rupiah) untuk membeli koin.
Keberadaan museum monas, yang merupakan salah satu arena edukasi sangatlah strategis, karena setiap pengunjung yang memasuki monas, dia akan melewati museum itu. Sehingga itu dapat menjadi salah satu penarik bagi pengunjung untuk sekedar melihat-lihat atau bahkan mengamati.

Arena Wisata Edukasi yang Ekonomis
Saat berlibur merupakan saat-saat yang dinantikan banyak orang untuk berkumpul bersama keluarga. Di sini peran penting sebuah arena atau tempat untuk merealisasikannya, dan monas merupakan tempat wisata yang ekonomis. Keterjangkauan monas menjadikannya selalu ramai dipadati pengunjung, baik lokal maupun mancanegara.
Apabila berkunjung ke monas, dapat terlihat mulai dari pintu masuk sampai tempat parkir yang dipadati pengunjung (khususnya pada hari-hari libur). Namun pada hari-hari biasa, suasana monas tidaklah seramai pada hari-hari libur. Hal ini pun yang menjadikan daya tarik bagi para pedagang. Para pedagang memenuhi monas hanya pada saat-saat hari libur, sementara pada hari-hari biasa hanya ada beberapa pedagang saja. Hal ini menjadikan monas dipadati banyak pengunjung, selain itu sekeliling monas banyak bertebaran sampah-sampah bekas makanan, entah itu dari sampah dari penjual makanannya atau kah pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Namun, pada saat hari-hari biasa yang tidak dipadati pengunjung, mendadak sekeliling monas bersih dan rapi. Saat itu juga para petugas kebersihan membersihkan halaman monas. Ada yang menyapu halaman, memperindah rumput-rumput yang sudah tidak tertata, bahkan di saat pengunjung tidak ramai, halaman monas di jadikan tempat banyak kegiatan, seperti senam bersama saat pagi hari, latihan karate, tempat latihan patroli, dan lain-lain. Di bawah ini, hasil wawancara dengan salah-satu pedagang yang ada di monas bernama Asisah yaitu:
“Iya kalo libur itu rame, sampe 24 jam malah saya dagang di sini, apalagi kalo ada acara-acara gitu tambah rame. Tapi kalo hari-hari biasa sih ngga serame hari libur. Kita sih bebas dagang di mana aja, paling Cuma uang sampah aja”
Dari penuturan salah satu pedagang di atas, bahwa pada hari-hari biasa suasana monas tidaklah seramai seperti pada hari-hari libur yang dipadati pengunjung. Sisi-sisi jalan menuju monas pun sepi, penulis merlihat dari sisi jalan yang biasanya dipenuhi banyak pedagang yang menjajakan jajanannya menjadi sepi, hanya ada beberapa pedagang saja yang tersisa. Museum monas pun mendadak sepi (tidak seramai hari-hari libur). Namun, memasuki museum monas, terdapat beberapa rombongan anak-anak sekolah yang didampingi guru-gurunya. Mereka berkunjung ke museum monas untuk melihat-lihat sejarah peninggalan bangsa Indonesia masa lampau. Museum monas sangat berguna bagi anak-anak khususnya pelajar yang memiliki rasa keingin tahuan yang tinggi mengenai sejarah bangsanya. Selain tempatnya yang luas, juga terdapat AC sehingga ruangan pun menjadi sejuk.
Museum monas terdapat banyak diorama-diorama sejarah perjuangan bangsa yang sangat membantu bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah bangsanya, selain ruangannya yang luas, juga penataannya sangat menarik. Para pengunjung dapat mempelajari sejarah perjuangan dengan melihat setiap sudut diorama yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan sesuai dengan kejadian yang menggambarkan peristiwa-peristiwa perjuangan bangsa pada masa lampau.
Diorama-diorama yang terdapat pada museum monas ini, merupakan salah satu bentuk peninggalan yang patut di jaga keberadaannya, karena keberadaannya menjadi salah satu simbol perjuangan bangsa yang digambarkan melalui diorama-diorama tersebut. Wisata edukasi yang ekonomis ini sangat bermanfaat dan membantu guru-guru atau pun orang tua yang ingin menjelaskan sejarah bangsanya dengan memperlihatkan langsung gambaran kejadiannya, yaitu melalui diorama-diorama yang terdapat di museum monas tersebut.
Di sini, dengan adanya diorama mengenai sejarah bangsa tempo dulu, para pengunjung bisa belajar sejarah bangsa dengan menyenangkan, terlebih lagi tiket masuk yang sangat terjangkau. Hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Keterjangkauan museum monas ini dapat terlihat dari tiket masuk ke museum. Untuk harga tiket masuk ke museum monas diklasifikasikan berdasarkan umurnya. Biasanya harga untuk anak-anak, pelajar/mahasiswa lebih murah dibandingkan dengan pengunjung lainnya. Berikut adalah klasifikasi untuk harga tiket masuk museum monas:

Tabel I
Klasifikasi/golongan
Harga/orang
Anak-anak
Rp 2.000
Mahasiswa
Rp 3.000
Dewasa/umum
Rp 5.000
Sumber: data dari loket museum monas yang  diolah oleh penulis

Dari tabel di atas, dapat terlihat bahwa monumen nasional (monas) merupakan arena edukasi yang sangat ekonomis. Selain museum yang didalamnya terdapat diorama-diorama sejarah perjuangan bangsa indonesia, juga terdapat fasilitas-fasilitas umum untuk pengunjung, seperti disediakannya mushola dan toilet yang dibedakan (laki-laki dan wanita). Hal ini menjadi salah satu kenyamanan tersendiri bagi para pengunjung. Tidak hanya ke ekonomisannya saja yang menjadi daya tarik, namun keindahannya pun merupakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin berwisata bersama keluarga maupun karabat.
Wisata edukasi monas ini, sangatlah indah di pagi maupun malam hari. Pada pagi hari, suasana di sekitar monas dipenuhi dengan pepohonan yang sangat rindang. Hal ini membuat kenyamannan tersendiri bagi para pengunjung. Tempat parkir yang luas, halaman yang luas, serta museum yang menarik perhatian pengunjung. Terlebih lagi yaitu keterjangkauan harga tiket masuknya. Sehingga semua kalangan dapat menjangkaunya, mulai dari kalangan menengah atas sampai kalangan menengah bawah.

Kesimpulan
Berwisata adalah bentuk dari pengimplementasian kebersamaan, baik dengan keluarga maupun dengan kerabat. Monumen Nasional (monas) adalah salah satu tempat wisata edukasi yang ekonomis. Selain menyadiakan sarana/tempat untuk berkumpul, monas juga merupakan salah satu peninggalan yang di dalamnya terdapat museum perjuangan masyarakat Indonesia pada masa lampau.
Wisata edukasi ini, memiliki banyak keunikan, diantaranya adalah tempat masuk menuju monas yaitu dengan melewati terowongan yang lumayan panjang. Wisata edukasi ini merupakan salah satu wujud dari kekayaan bangsa Indonesia melalui bentuk peninggalan-peninggalan sejarahnya yang patut untuk di jaga. Keberadaan peninggalan-peninggalan sejarah ini terdapat pada museum monas.
Pada museum monas ini, terdapat diorama-diorama yang menarik para pengunjung. Penataan latar pada diorama-diorama tersebut seakan-akan hidup, sehingga memberikan kesan tersendiri bagi para pengunjung untuk melihatnya. Selain itu, diorama-diorama itu dilengkapi dengan keterangan-keterangan kejadian pada masa perjuangan, sehingga para pengunjung dapat dengan mudah mengetahui apa yang terjadi pada masa perjuangan, khususnya dalam mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan.
Wisata edukasi di museum monas ini, memberikan gambaran kepada masyarakat arti penting sebuah sejarah perjuangan bangsa, sehingga kita wajib untuk menjaganya. Keterjangkauan tiket masuk monas pun merupakan salah satu bentuk bahwa siapa saja boleh memasukinya, artinya bukan hanya kalangan-kalangan menengah atas yang dapat memasukinya, namun kalangan masyarakat kelas bawah pun dapat menjangkaunya. Di sini arti penting dari sebuah arena edukasi yang ekonomis.

Beranda Depan Kelas Sebagai Arena Interaksi (ngobrol, ngrumpi)


(studi kasus: lantai 4 FIS UNJ)
FIS merupakan salah satu fakultas yang keberadaan gedungnya berdekatan dengan gerbang belakang UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Fakultas Ilmu Sosial yang biasa disingkat dengan sebutan “FIS” ini, memiliki 4 lantai yang terdiri dari beberapa ruangan jurusan, ruang kelas, laboratorium, Tata Usaha (TU) di beberapa jurusan. FIS memiliki beberapa jurusan beserta program studi, diantaranya; jurusan sosiologi-bidang studi sosiologi dan pendidikan sosiologi, jurusan ilmu sosial politik-bidang studi pendidikan kewarganegaraan dan hubungan internasional, jurusan sejarah-program studi pendidikan sejarah dan sejarah pariwisata, dll.
Keberagaman jurusan yang ada di FIS serta banyaknya mahasiswa yang berasal dari beberapa jurusan menjadikan semua ruangan, bahkan beranda-beranda depan kelas pun penuh dengan mahasiswa-mahasiswa. Mahasiswa yang mengerjakan tugas, diskusi, bahkan hanya sekedar nongkrong-nongkrong atau pun ngrumpi. Di sini penulis lebih menekankan pengamatan di lantai 4. Lantai 4 merupakan lantai yang terdiri dari beberapa ruang kelas serta laboratorium. Biasanya, seusai ataupun sebelum perkuliahan, di beranda depan kelas banyak mahasiswa yang nongkrong baik untuk diskusi-diskusi maupun interaksi dengan mahasiswa satu kelas maupun berbeda kelas. Biasanya mereka yang duduk-duduk di depan kelas itu sedang menunggu pergantian kelas. 

Wajah Pendidikan di Indonesia Masa Kini

Oleh: Indria Retna Mutiar

Indonesia merupakan negara yang pluralstik, di mana di Indonesia memiliki beragam kebudayaan daerah yang berbeda-beda. Hal ini yang menjadikan Indonesia kaya akan tradisi dan kebudayaan. Begitu pula dalam sistem pendidikan yang ada di indonesia. Di dalam sistem pendidikan, tentu adanya suatu nilai-nilai yang berlaku. Selain itu, juga adanya pedoman dalam pelaksanaan pendidikan, pedoman inilah yang berisi nilai dan aturan-aturan di dalamnya, pedoman ini lah yang disebut sebagai kurikulum. Kurikulum di dalam pendidikan, merupakan suatu alat yang di dalamnya terdapat aturan, isi dan tujuan sebagai pedoman dalam proses pembelajaran. Seperti yang tercantum di dalam UU 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas  bab 1 pasal 1 ayat 19 mengatakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan[1].
Kurikulum pendidikan saat ini, seakan-akan tidak menemukan “jati dirinya”. Pasalnya, sampai saat ini belum ada kurikulum yang sesuai apabila dilihat dari fenomena-fenomena yang ada. Hal ini terlihat dari pergantian-pergantian kurikulum dari waktu ke waktu. Kurikulum saat ini, khususnya di dalam pendidikan merupakan hal yang harus diutamakan (pokok) karena kurikulum merupakan perangkat di dalam sistem pendidikan. Tidak akan berjalan suatu pendidikan apabila dari kurikulumnya tidak ada ataupun rusak.
Saat ini, fenomena yang terjadi di Indonesia merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Di mana ketika terjadi ketidak sesuaian di satu sisi maka di sisi-sisi yang lainnya pun akan tergannggu. Apabila kita cermati dan melihat kondisi yang terjadi pada pendidikan di Indonesia saat ini, maka kita akan menemukan beberapa kejanggalan. Mulai dari pemusatan pendidikan, diskriminasi pendidikan, ujian nasional sebagai standar kelulusan, sampai pada persoalan pergantian kurikulum yang sampai saat ini menjadi perdebatan.



Sentralisasi Pendidikan
Dalam konteks pemusatan pendidikan (sentralisasi pendidikan) telah banyak contohnya. Seperti pada kota-kota besar terutama di Jakarta yang notabene ibu kota indonesia, pendidikan sangat diperhatikan pemerintah, terlihat dari kelengkapan sarana dan prasarana serta tenaga pendidik dan kependidikannya. Namun sebaliknya, pada daerah-daerah terpencil pendidikan sangat memprihatinkan. Penulis melihat pendidikan pada masyarakat Pegayaman-Bali, di sana pendidikan baik tingkat TK,SD, SMP, maupun SMA tidaklah seperti di kota-kota besar. Dilihat dari sarana dan prasarananya serta tenaga pengajarnya pun tidak sesuai dengan standar nasional pendidikan[2]. Di mana di dalam standar nasional pendidikan komponen-komponen tersebut harus ada. Pada sekolah-sekolah yang ada di desa Pegayaman-Bali, tenaga pengajar yang seharusnya hanya mengajar pada bidang tertentu ini merangkap (mengajar pada bidang/mata pelajaran lainnya). Dari sini dapat terlihat bahwa kurangnya tenaga pengajar, padahal di kota-kota besar khususnya Jakarta malah sebaliknya. Hal ini seharusnya menjadi pusat perhatian, bahwa adanya pemusatan pendidikan serta tidak meratanya pendidikan yang ada di Indonesia. Ini berhubungan juga pada penerapan Ujian Nasional yang sampai saat ini masih diperdebatkan.
Ujian Nasional adalah salah satu program pemerintah dalam bidang pendidikan. Ujian Nasional menjadi tolok ukur peserta didik dalam kelulusannya, padahal apabila kita lihat pada komponen-komponen ataupun standar nasional pendidikan yang ada tidaklah sama antara daerah satu dengan daerah lainnya. Baik dari segi sarana prasarana, pengajar (standar pendidik dan tenaga kependidikan) maupun standar isi. Dalam hal ini, jelas terlihat bahwa Ujian Nasional tidak bisa dijadikan tolok ukur kelulusan siswa, karena setiap sekolah tidaklah sama. Ini juga yang menjadi perdebatan antara tetap menerapkan Ujian Nasional atau kah menghapusnya.

Diskriminasi Pendidikan
Kemajuan dan perkembangan yang terjadi saat ini berpengaruh juga pada pendidikan. Pendidikan saat ini menjadi salah satu upaya dalam memajukan kemajuan bangsa, karena dengan pendidikan generasi-generasi penerus dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, karena dengan pendidikan bakat-bakat yang dimiliki individu dapat terealisasikan. Pada saat ini, pendidikan bertumpu pada pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik. Tujuannya adalah, agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan keterampilan bukan hanya dalam pengetahuannya saja (kognitif).
Kondisi yang dirasa saat ini, khususnya di dunia pendidikan sangatlah pesat. Terlebih lagi dengan munculnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Ini membuktikan bahwa pendidikan di indonesia mengalami kemajuan. Namun kemajuan ini seharusnya diimbangi dengan kemerataan dalam mengakses pendidikan. Maksudnya adalah, bahwa pendidikan harus dapat dirasakan oleh seluruh warga negara indonesia tanpa terkecuali. Tetapi pada kenyataannya, pendidikan menjadi terstratifikasi dengan adanya pengelompokan-pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan peserta didik. Namun menurut saya, pengelompokan itu lebih cenderung pada pengelompokan status sosial, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah bertaraf internasional, dengan kemewahan yang dimiliki dan fasilitas yang memadai.
Menurut saya, pendidikan saat ini cukup pesat persaingannya, baik dalam segi kemampuan akademik maupun dalam materi. Pendidikan yang berkualitas dengan sarana dan prasarana yang memadai hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Ini menjadi tidak adil bagi kalangan status sosial menengah ke bawah, padahal mereka memiliki hak yang sama di dalam mengenyam pendidikan. Seperti yang tercantum di dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, kemudian pada ayat 2 di tegaskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Namun pada kenyataannya, banyak yang tidak dapat mengakses pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil dengan kondisi status sosial masyarakatnya rendah.
Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan bakat-bakat yang dimiliki individu, namun tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa pendidikan juga sebagai ajang dalam persaingan di dunia kerja. Sulitnya mencari pekerjaan menyebabkan membludaknya pengangguran. Seperti yang terlihat sekarang, kantor-kantor ataupun perusahaan sangatlah selektif dalam memilih karyawan/wati. Tentu ini tidak sepenuhnya salah perusahaan, karena setiap perusahaan tentu menginginkan karyawan/wati yang handal, bukan saja memiliki kemampuan di bidang akademik, tetapi juga memiliki skill sesuai dengan bidang yang digelutinya. Dalam hal ini pendidikan juga dapat menempatkan seseorang pada status sosial tertentu. Contohnya saja dalam sebuah kantor yang memiliki karyawan dengan latar belakang pendidikan S1 dengan lulusan SMA, tentu akan berbeda penempatannya. Disini, sudah jelas bahwa pendidikan juga merupakan salah satu alat dalam peningkatan status sosial seseorang.
Dari pemaparan-pemaparan di atas, jelas bahwa pendidikan bukan saja suatu tuntutan di dalam kehidupan, tetapi juga merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang mau mengembangkan potensinya. Pendidikan juga merupakan penentu status sosial seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang maka status sosialnya akan menempati posisi yang tinggi pula.

Analisis
Sistem Pendidikan yang Ideal
Menurut penulis, pendidikan ataupun sistem pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu mencakup segala arah. Maksudnya adalah pendidikan bukan saja sebagai institusi yang menampung peserta didik dalam mengembangkan potensinya, tetapi juga mampu memanusiakan peserta didik (penanaman moral dan agama). Penulis melihat, bahwa pendidikan saat ini hanya menekankan pada aspek kognitifnya saja sehingga aspek psikomotoriknya dikesampingkan, padahal untuk membentuk suatu moral bangsa di mulai dari kebiasaan sehari-hari yaitu membiasakan pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku dengan lebih menekankan pada aspek psikomotorik di dalam proses pembelajaran. Sehingga bukan saja melahirkan lulusan yang cerdas tetapi juga memiliki moral dan beragama.
Sistem pendidikan yang ideal juga harus dapat diakses oleh semua kalangan, tidak terkecuali. Artinya, bahwa didalam pendidikan tidak adanya strata/kelas-kelas (seperti yang terjadi pada RSBI), sehingga bukan hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang menikmati pendidikan “bagus” tetapi semua kalangan juga dapat merasakannya, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama. Sistem pendidikan di indonesia juga harus mampu memberikan yang terbaik, bukan hanya melihat kepentingan global saja tetapi juga harus mampu melihat kondisi masyarakat yang ada. Sehingga bukan hanya kemampuan akademik yang mereka miliki tetapi juga mereka dapat mencintai bangsanya sendiri dengan pengajaran-pengajaran (materi) yang diberikan. Hal ini memiliki keterkaitan dengan penerapan kurikulum. Bahwa, kurikulum harus melihat kondisi yang ada di masyarakat, dan harus memiliki pertimbangan-pertimbangan dalam menetapkan kurikulum, karena kurikulum merupakan sebuah pedoman di dalam pelaksanaan pendidikan.


[1] Suriani, Achmad Siswanto, materi kuliah sosiologi kurikulum “Prespektif Post-modern Tentang Kurikulum
Pokok Bahasan 5
[2] Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah (Pak Ahad) 

Kamis, 14 Maret 2013

Analisis Artikel


“Memanusiawikan Anak Manusia”
Di dalam artikel yang berjudul “Memanusiawikan Anak Manusia” ini kurikulum pendidikan dirasa tidak merata, karena di Sekolah Dasar (SD) Buhut Jaya Kalimantan masih menggunakan kurikulum 1998, sementara kurikulum yang sekarang dipakai sudah menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Bukankah tujuan kurikulum menyamaratakan, agar tidak ada kesenjangan kualitas pendidikan? Namun pada kenyataannya, masih ada yang mengalami keterbelakangan/ketertinggalan dalam hal mengganti kurikulum yang baru.
 Disini, jarak menjadi kendala ketidakmerataannya pendidikan. Padahal, tujuan keseragaman kurikulum tidak lain untuk menghindari kesenjangan kualitas pendidikan. Namun, perlu diingat bahwa keseragaman kurikulum dapat terjadi ketidaksesuaian, karena dengan menyamaratakan standarisasi kurikulum, tanpa melihat kondisi geografis dan lingkungan yang ada di daerahnya masing-masing tentu akan menjadi tidak sesuai. Akibatnya peserta didik harus mengikuti dan patuh terhadap kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pada dasarnya kurikulum mengikuti perkembangan zaman, sama seperti di negara kita (Indonesia) yang telah beberapa mengganti kurikulum lama dengan yang baru. Dimulai dari kurikulum tahun 1947, tahun 1952, tahun 1964. Kemudian pada orde baru lahir empat kurikulum, yaitu kurikulum tahun 1968, tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994 dan pada masa reformasi lahir dua kurikulum, yaitu kurikulum tahun 2004 dan tahun 2006. Hal tersebut dapat terlihat bahwa, kurikulum selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Serta disesuaikan dengan kondisi pada saat itu, tapi pada kenyataannya sampai sekarang masih terjadi kesenjangan di dalamnya, karena peserta didik harus mengikuti apa yang telah ditetapkan kurikulum, akibatnya mereka terasingkan dari desanya sendiri, mereka menjadi objek bentukan bukan subjek pembelajaran yang sesuai dengan kecerdasan mereka, seperti yang terjadi di SD Buhut Jaya.
Kurikulum yang dirasakan sekarang sarat akan politik dan kepentingan penguasa, pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, namun peserta didik dituntut untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan. Pendidikan tidak menjadikan peserta didik sebagai robot, yang harus mengikuti semua sistem yang telah ditetapkan tanpa melihat kemampuan dan potensi yang ada di dalam setiap individu. Tetapi pendidikan harus memberikan kenyamanan bagi peserta didik dalam proses pembelajaran, dan ini adalah tugas guru dalam menjalankan pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga pendidikan dapat kembali menjadi pendidikan yang humanis.


Perspektif konflik
Dari contoh permasalahan yang ada di artikel tersebut, menurut saya lebih cocok menggunakan perspektif konflik. Karena di dalam perspektif konflik adanya kontestasi yang menekankan pada persaingan berbasis intelektual, dimana didalam kontestasi tersebut peserta didik dituntut untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh kurikulum agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Sehingga peserta didik dapat bersaing dengan peserta didik lainnya.
Di dalam perspektif konflik juga menjelaskan bahwa kurikulum diciptakan agar industrialisasi tetap berjalan, kurikulum dijadikan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Seperti yang terlihat pada artikel “Memanusiakan Anak Manusia”, di dalam penjelasan-penjelasannya, pendidikan dirasa dehumanis. Peserta didik dikarbit menjadi orang dewasa, mereka diarahkan menjadi orang dewasa mini. Di tingkat play group atau biasa dikenal dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) anak-anak sudah diajarkan membaca, menulis, berhitung, padahal di tingkatan ini seharusnya mereka belajar sambil bermain, dilatih ketangkasan dan kekreatifan dengan permainan-permainan yang memacu pada hal-hal tersebut.
Namun, pada kenyataannya pendidikan saat ini sudah mengarah pada penciptaan industrialisasi. Pendidikan menjadi ajang untuk berlomba-lomba dalam memasuki dunia pekerjaan. Patokan dari pendidikan terpusat pada nilai, bukan pada proses pembelajarannya. Sehingga mereka lebih mementingkan hasil bukan pada proses. Seperti yang terjadi pada masa orde baru, bahwasanya kurikulum saat itu sebagai pencipta lapangan kerja dan pabrik sumber daya. Dengan seperti itu, terlihat jelas bahwa kurikulum mengarah pada industrialisasi. Seperti yang telah disinggung di atas, menurut taori konfliknya Karl Marx bahwa, kurikulum diciptakan agar industrialisasi tetap berjalan, kurikulum juga dijadikan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa kurikulum sekarang lebih mengacu pada industrialisasi, dimana peserta didik di bentuk dan diarahkan untuk memperoleh/mampu bersaing di dunia kerja. Pendidikan bukan lagi mengarah pada pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu, tetapi lebih pada keharusan setiap individu untuk mengikuti sistem yang ada, yaitu kurikulum yang telah ditetapkan.
Hal ini menjadi permasalahan bagi pendidikan di indonesia, karena peserta didik bukan lah sebuah robot yang diharuskan untuk mengikuti sistem yang mengarah pada pembentukan manusia sesuai dengan kondisi yang ada. Maksudnya yaitu, pembentukan yang mengarahkan pada penciptaan manusia yang mampu bersaing di dunia kerja tanpa melihat potensi yang ada di dalam diri setiap individu. Namun tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa yang terjadi saat ini memang seperti ini kondisinya. Persaingan di dalam dunia kerja yang begitu sulit, sehingga banyak yang menjadi buruh di negrinya sendiri. Pemerintahpun tidak memberikan ataupun mencari solusi untuk kondisi yang seperti ini. Akhirnya kondisi seperti ini tetap berjalan dan ada sampai sekarang.



Perspektif Post-Modern Tentang Kurikulum


Post-modern lahir sebagai kritik terhadap teori sosiologi klasik dan modern, yang menganggap kurikulum  sebagai bentuk pemerataan, sementara post-modern memandang kurikulum bukan hanya sebagai pemerataan tetapi juga harus melihat kondisi yang ada di lingkungannya (lokalitas). Penyesuaian kurikulum sangat penting, karena kurikulum bukan hanya bentuk pemerataan tetapi juga harus melihat kondisi yang ada di daerah masing-masing, sehingga siswa tidak merasa terasingkan di daerahnya. Seperti yang tercantum dalam UU 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas  bab 1 pasal 1 ayat 19 mengatakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan[1].
Tujuan pendidikan tercapai apabila hasil sesuai dengan perencanaan. Menurut pandangan klasik dan modern, pemerataan kurikulum bertujuan agar tidak terjadi ketimpangan atau ketidakmerataan, namun pada kenyataannya penyetaraan itu tidak disertai dengan melihat kondisi yang ada, sehinga tidak sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah. Disini lahirlah kritikan-kritikan post-modern yang menanggapi masalah tersebut. Menurut Apple, kurikulum bukanlah sebuah ruang kosong namun mengandung ideologi[2]. Dimana di dalam kurikulum terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Perspektif post-modern memandang kurikulum sebagai bagian dari tujuan pendidikan, lebih tepatnya sebagai kerangka dari tujuan pendidikan. Kerangka tersebut merupakan pedoman bagi tercapainya tujuan pendidikan. Di dalam perspektif post-modern, lebih menekankan pada lokalitas, maksudnya kurikulum harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pendidikan. Dalam prespektif post-modern kurikulum merupakan bagian dari metanarasi kecil yang bersifat lokalitas. Seperti yang telah di jelaskan di atas, bahwasanya kurikulum harus memperhatikan kondisi yang ada di daerahnya masing-masing sehingga tidak terjadi ketimpangan, inilah yang dimaksud lokalitas dalam perspektif post-modern mengenai kurikulum.
Dalam kondsi seperti ini, kurikulum juga mengarah pada kontestasi, dimana di dalam pendidikan bukan saja pada ranah transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, tetapi lebih pada arah kontestasi yang di dalamnya terdapat persaingan-persaingan yang saling bernegosiasi maupun berkompetisi. Dalam hal ini tentu ada keterkaitannya dengan penguasa yang masing-masing memiliki kepentingan-kepentingan. Jadi kurikulum merupakan bentuk dari produk pengetahuan yang di produksi oleh pemenang dari kontestasi tersebut[3]. Hal ini juga dapat dikatakan, bahwa ada kekuasaan di dalam pendidikan. Pendidikan bukan lagi sebagai penyalur bakat-bakat individu tetapi adanya kekuasaan di dalamnya, menjadikan pendidikan sebagai sarana atau ajang kontestasi bagi penguasa dan negara. Kontestasi disini merupakan bentuk perjuangan dan pertarungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan produk kurikulum. Ini jelas terlihat, kondisi yang dirasa sekarang bahwa kurikulum sebagai ajang kontestasi bagi penguasa. Setiap pergantian penguasa berganti juga kurikulumnya, ini merupakan salah satu bentuknya.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi yang direncanakan sebagai pedoman dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan kerangka awal dalam pendidikan. Tujuan pendidikan akan tercapai apabila hasil akhir sesuai dengan apa yang direncanakan/rencana awal.
Namun, di dalam kenyataannya kurikulum dirasa mengarah pada kontestasi yang didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan tertentu dan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut pandangan post-modern kurikulum bukan saja harus mengarah pada kesetaraan, tetapi juga harus melihat kondisi atau potensi yang ada di tiap-tiap daerah, sehingga tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan. Disini terlihat jelas sekali, bahwa post-modern lahir sebagai bentuk kritik terhadap pandangan klasik dan modern, yang melihat kurikulum hanya terpusat pada pemerataan di dalamnya, tanpa melihat kondisi yang ada di tiap-tiap daerah.
Dalam hal ini juga, kurikulum dianggap sebagai bentuk kontestasi yang mengarah pada persaingan dan perjuangan. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa terdapat kepentingan-kepentingan penguasa di dalamnya. Seperti gagasan Foucault tentang konsep kekuasaan menjelaskanbah wa konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan (Pradipto, 2004:5). Kurikulum merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh mereka yang berkuasa, salah satunya adalah negara.[4]  Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa, di dalam kurikulum terdapat kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu, dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan produk dari penguasa yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga pendidikan sekarang bukan lagi sebagai penyalur bakat-bakat, tetapi juga mengarah pada kontestasi dan kontestasi-kontestasi tersebut berkaitan dengan kepentingan-kepentingan penguasa.





[1] Suriani, Achmad Siswanto, materi kuliah sosiologi kurikulum “Prespektif Post-modern Tentang Kurikulum
Pokok Bahasan 5
[2] Ibid
[3] Rakhmat Hidayat, kurikulum sebagai arena kontestasi kekuasaan: konseptualisasi gagasan Michael Apple hingga Pierre Bourdieu
[4] Ibid 

Rabu, 13 Maret 2013

DEMOKRASI SEBAGAI ARENA GERAKAN SOSIAL: Penolakan Kenaikan BBM Sebagai Bentuk Gerakan Sosial di Masa Demokrasi (Study Kasus: Demo BBM di Sejumlah Daerah)


Oleh : Indria Retna Mutiar

Abstrak
Tulisan ini akan membahas tentang gerakan sosial pada saat kenaikan BBM, di mana gerakan sosial tersebut dipelopori bukan hanya dari kalangan mahasiswa tetapi juga buruh, anggota partai politik dan masyarakat yang menolak kenaikan tersebut. Gerakan sosial yang terjadi sekarang merupakan bentuk dari pemerintahan yang demokrasi. Di mana ruang untuk berpendapat terbuka luas, berbeda dengan/pada masa orde baru, yang tidak adanya ruang untuk menyampaikan aspirasi, karena adanya kekangan-kekangan dari pemerintahan yang otoriter. Jadi dapat dikatakan, bahwa gerakan sosial juga dapat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang ada. Di dalam tulisan ini, penulis menggunakan teknik sekunder, yaitu mengambil data yang bersumber dari media massa sebagai bahan untuk studi kasus. Penulis juga memaparkan sekilas tentang transisi pada era orde baru ke reformasi. Transisi menuju reformasi ini yang kemudian merekonstruksi pemerintahan yang demokrasi. Di dalam pemerintahan yang demokrasi ini lah yang memunculkan gerakan-gerakan sosial masyarakat. Gerakan sosial ini merupakan salah satu perwujudan dari penyaluran aspirasi masyarakat dalam mengkritik pemerintah, agar tujuan dan cita-cita negara tercapai tanpa mengabaikan suara rakyat. Karena di dalam negara demokrasi ini lebih mengarah pada aspirasi-aspirasi kepentingan, aspirasi-aspirasi kepentingan ini berupa pemilu. Pemilu merupakan salah satu bentuk negara demokrasi. Di mana di dalam pemilu rakyat memiliki hak penuh dalam memilih calon pemimpin sesuai dengan pilihannya, karena pemilu memiliki asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia).
Kata Kunci
Demokrasi, arena, gerakan sosial

PENGANTAR
Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah kebebasan dalam mengemukakan pendapat, demokrasi juga erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Di mana di dalam demokrasi hak asasi manusia tidak dikekang atau dibatasi. Karena di dalam negara demokrasi semua orang memiliki kebebasan untuk berpendapat dan mendapatkan haknya. Demokrasi menurut asal katanya berarti rakyat yang berkuasa atau goverment by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa)[1]. Jadi di dalam negara demokrasi rakyatlah yang berkuasa, karena pemimpin terpilih dari hasil suara atau pilihan rakyat, melalui pemilu (pemilihan umum). Di dalam demokrasi, negara ibarat aktor yang dapat merealisasikan gerakan sosial. Kemudian, demokrasi juga dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan baru yang dipicu oleh gerakan sosial yang terjadi. Jadi demokrasi dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Apabila kita lihat pada pemerintahan Soeharto, tepatnya pada era orde baru, hak-hak warga negara dibatasi karena pada masa itu Soeharto memegang kekuasaan penuh, sehingga bisa dikatakan pemerintahan saat itu bersifat otoriter (tidak demokrasi). Pada era reformasi ini, ketika hak-hak warga negara sepenuhnya dilindungi dan tidak lagi adanya pembatasan-pembatasan atau kekangan-kekangan dari pemerintah, sehingga pada masa ini ruang gerak setiap warga negara terbuka lebar. Setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya di muka umum, baik melalui media massa maupun dengan cara demonstrasi. Dari sini lah gerakan-gerakan sosial lahir, sebenarnya sebelum reformasi pun sudah ada kelompok-kelompok demonstran. Namun, karena tidak adanya ruang untuk menyalurkannya sehingga mudah di redam, serta sistem pemerintahan yang menata agar tidak adanya gerakan-gerakan yang membahayakan bagi kedudukan Soeharto.
Setelah transisi ke era reformasi, telah terjadi perubahan-perubahan khususnya pada sistem pemerintahan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada era reformasi ini, telah membuka ruang gerak rakyat dalam menyampaikan pendapatnya, baik berupa kritikan maupun tuntutan-tuntutan mereka kepada pemerintah yang dirasa tidak sesuai atau merugikan rakyat, dari sini lah gerakan sosial muncul. Pada dasarnya gerakan sosial merupakan suatu tindakan kolektif dari sekelompok orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama. Mengutip dari pendapat Giddens (1993) yang menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.[2] Seperti yang terjadi pada bulan maret 2012 kemarin. Ketika para demonstran melakukan aksinya dalam penolakan kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) karena dianggap tidak sesuai dan akan memberatkan masyarakat kalangan bawah. Dalam hal ini, terlihat bahwa pemerintahan yang demokrasi telah membuka arena gerakan sosial. Jadi gerakan sosial merupakan bentuk dari kebebasan atau ketidak terkekangan hak-hak setiap warga negara dalam menyampaikan pendapatnya, yang didasari oleh kebijakan pemerintah secara sepihak dan dirasa akan mempersulit rakyat, khususnya masyarakat kalangan bawah. Tetapi, gerakan sosial pada negara demokrasi juga dapat memicu timbulnya kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah.
Namun, pada praktiknya sering kali demokrasi salah diartikan sehingga tidak jarang ditemui aksi-aksi demonstran yang anarkis (tindakan sewenang-wenang). Pemerintahan yang demokrasi pun menjadi dilematis, pada dasarnya demokrasi merupakan sebuah wadah/arena dalam penyaluran aspirasi rakyat. Tetapi belakangan ini justru demokrasi dijadikan alat bagi oknum-oknum tertentu dalam melakukan aksi anarkisnya, sehingga sering terjadi bentrok antara para demonstran dengan aparat kepolisian. Hal ini menjadi tantangan bagi negara demokrasi yang melahirkan sebuah pertanyaan besar, apakah negara demokrasi tidak mampu memberikan keamanan dan ketertiban di dalam pemerintahan? Apakah demokrasi, yang notabene dianggap sebagai arena gerakan sosial telah menjadi alur/jalan penghubung antara pemerintah dan rakyat? Atau malah sebaliknya, demokrasi menjadi alat bagi pemerintah dan rakyat dalam menjalankan kepentingannya masing-masing?
Tulisan ini akan disajikan dalam tiga bagian. Pertama, pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan pokok dan tujuan penulisan. Kedua, pembahasan yang di dalamnya berisi: mendeskripsikan proses transisi demokrasi/reformasi, sekilas tentang aksi/gerakan dalam demokrasi, menjelaskan tentang tantangan demokrasi, kebijakan dan gerakan pada pemerintahan demokrasi. Ketiga, penutup yaitu berisi kesimpulan dari pemaparan paper yang berjudul “DEMOKRASI SEBAGAI ARENA GERAKAN SOSIAL:  Penolakan Kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) Sebagai Bentuk Gerakan Sosial di Masa Demokrasi”. Di dalam penulisan ini, penulis menggunakan teknik sekunder yaitu berupa studi kasus yang bersumber dari media massa. Penulis juga mengambil beberapa sumber bacaan sebagai referensi untuk analisis tulisan ini, baik dari buku, koran maupun data dari internet. 


[1] Miriam Budiardjo, 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 105
[2] Fadillah Putra, dkk, 2006, Gerakan Sosial, cetakan I, Malang: Program Penguatan Simpul Demokrasi, hlm. 1