“Memanusiawikan Anak Manusia”
Di dalam artikel
yang berjudul “Memanusiawikan Anak Manusia” ini kurikulum pendidikan dirasa
tidak merata, karena di Sekolah Dasar (SD) Buhut Jaya Kalimantan masih
menggunakan kurikulum 1998, sementara kurikulum yang sekarang dipakai sudah
menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Bukankah tujuan
kurikulum menyamaratakan, agar tidak ada kesenjangan kualitas pendidikan? Namun
pada kenyataannya, masih ada yang mengalami keterbelakangan/ketertinggalan
dalam hal mengganti kurikulum yang baru.
Disini, jarak menjadi kendala
ketidakmerataannya pendidikan. Padahal, tujuan keseragaman kurikulum tidak lain
untuk menghindari kesenjangan kualitas pendidikan. Namun, perlu diingat bahwa
keseragaman kurikulum dapat terjadi ketidaksesuaian, karena dengan
menyamaratakan standarisasi kurikulum, tanpa melihat kondisi geografis dan
lingkungan yang ada di daerahnya masing-masing tentu akan menjadi tidak sesuai.
Akibatnya peserta didik harus mengikuti dan patuh terhadap kurikulum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Pada dasarnya
kurikulum mengikuti perkembangan zaman, sama seperti di negara kita (Indonesia)
yang telah beberapa mengganti kurikulum
lama dengan yang baru. Dimulai dari kurikulum tahun 1947, tahun 1952, tahun 1964.
Kemudian pada orde baru lahir empat kurikulum, yaitu kurikulum tahun 1968,
tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994 dan pada masa reformasi lahir dua kurikulum,
yaitu kurikulum tahun 2004 dan tahun 2006. Hal tersebut dapat terlihat bahwa,
kurikulum selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Serta disesuaikan
dengan kondisi pada saat itu, tapi pada kenyataannya sampai sekarang masih
terjadi kesenjangan di dalamnya, karena peserta didik harus mengikuti apa yang
telah ditetapkan kurikulum, akibatnya mereka terasingkan dari desanya sendiri,
mereka menjadi objek bentukan bukan subjek pembelajaran yang sesuai dengan
kecerdasan mereka, seperti yang terjadi di SD Buhut Jaya.
Kurikulum yang dirasakan
sekarang sarat akan politik dan kepentingan penguasa, pendidikan bukan untuk
mencerdaskan kehidupan anak bangsa, namun peserta didik dituntut untuk mengikuti
apa yang telah ditetapkan. Pendidikan tidak menjadikan peserta didik sebagai
robot, yang harus mengikuti semua sistem yang telah ditetapkan tanpa melihat
kemampuan dan potensi yang ada di dalam setiap individu. Tetapi pendidikan
harus memberikan kenyamanan bagi peserta didik dalam proses pembelajaran, dan
ini adalah tugas guru dalam menjalankan pelaksanaan pembelajaran yang
menyenangkan bagi peserta didik, sehingga pendidikan dapat kembali menjadi
pendidikan yang humanis.
Perspektif konflik
Dari contoh
permasalahan yang ada di artikel tersebut, menurut saya lebih cocok menggunakan
perspektif konflik. Karena di dalam perspektif konflik adanya kontestasi yang menekankan
pada persaingan berbasis intelektual, dimana didalam kontestasi tersebut
peserta didik dituntut untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh kurikulum
agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Sehingga peserta didik dapat bersaing
dengan peserta didik lainnya.
Di dalam perspektif
konflik juga menjelaskan bahwa kurikulum diciptakan agar industrialisasi tetap
berjalan, kurikulum dijadikan saluran untuk mengadaptasikan saluran
kapitalisme. Seperti yang terlihat pada artikel “Memanusiakan Anak Manusia”, di
dalam penjelasan-penjelasannya, pendidikan dirasa dehumanis. Peserta didik
dikarbit menjadi orang dewasa, mereka diarahkan menjadi orang dewasa mini. Di
tingkat play group atau biasa dikenal
dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) anak-anak sudah diajarkan membaca,
menulis, berhitung, padahal di tingkatan ini seharusnya mereka belajar sambil
bermain, dilatih ketangkasan dan kekreatifan dengan permainan-permainan yang
memacu pada hal-hal tersebut.
Namun, pada
kenyataannya pendidikan saat ini sudah mengarah pada penciptaan
industrialisasi. Pendidikan menjadi ajang untuk berlomba-lomba dalam memasuki
dunia pekerjaan. Patokan dari pendidikan terpusat pada nilai, bukan pada proses
pembelajarannya. Sehingga mereka lebih mementingkan hasil bukan pada proses. Seperti
yang terjadi pada masa orde baru, bahwasanya kurikulum saat itu sebagai
pencipta lapangan kerja dan pabrik sumber daya. Dengan seperti itu, terlihat
jelas bahwa kurikulum mengarah pada industrialisasi. Seperti yang telah
disinggung di atas, menurut taori konfliknya Karl Marx bahwa, kurikulum diciptakan
agar industrialisasi tetap berjalan, kurikulum juga dijadikan saluran untuk
mengadaptasikan saluran kapitalisme. Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa
kurikulum sekarang lebih mengacu pada industrialisasi, dimana peserta didik di
bentuk dan diarahkan untuk memperoleh/mampu bersaing di dunia kerja. Pendidikan
bukan lagi mengarah pada pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu,
tetapi lebih pada keharusan setiap individu untuk mengikuti sistem yang ada,
yaitu kurikulum yang telah ditetapkan.
Hal ini menjadi
permasalahan bagi pendidikan di indonesia, karena peserta didik bukan lah
sebuah robot yang diharuskan untuk mengikuti sistem yang mengarah pada
pembentukan manusia sesuai dengan kondisi yang ada. Maksudnya yaitu,
pembentukan yang mengarahkan pada penciptaan manusia yang mampu bersaing di
dunia kerja tanpa melihat potensi yang ada di dalam diri setiap individu. Namun
tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa yang terjadi saat ini memang seperti ini
kondisinya. Persaingan di dalam dunia kerja yang begitu sulit, sehingga banyak
yang menjadi buruh di negrinya sendiri. Pemerintahpun tidak memberikan ataupun
mencari solusi untuk kondisi yang seperti ini. Akhirnya kondisi seperti ini
tetap berjalan dan ada sampai sekarang.