Dalam
buku ini, Robert J. Brym membahas mengenai masalah-masalah yang berkaitan
dengan kehidupan kematian individu yang bermasyarakat. Pada bab I, ia
menggambarkan bagaimana kematian dipandang bagi masing-masing individu. Dalam
pembahasannya, ia membedakan pandangan antara individu yang beragama dengan
tidak. Individu yang beragama cenderung kurang mengkhawatirkan akan kematian,
karena ia percaya adanya suatu ganjaran. Ia juga memaparkan isu kematian dengan
menganalogikan seperti aturan permainan bagi anak-anak. Di mana setiap
permainan memiliki cara main atau aturan mainnya masing-masing. Seperti dalam
pembahasannya, setiap orang memiliki pandangan sendiri tentang kematian seperti
halnya anak kecil yang sedang bermain, di mana di dalam permainannya adakalanya
kita ‘mati’. Seperti dalam permainan
petak umpet, siapa yang tertangkap maka ia mati. Ketika dia mati, maka dia tidak
bisa mengikuti permainannya,
saat itulah dia bisa istirahat. Beberapa orang yang beragama terkadang kurang
mencemaskan kematian karena mereka percaya adanya ganjaran dan kehidupan yang
abadi di surga.
Agama membuat seseorang mematuhi perturannya, karena di dalam agama terdapat
aturan-aturan yang harus dipatuhi bagi tiap pemeluknya. Misalnya, salah satu peraturan
dalam suatu agama, bahwa pernikahan hanya dapat menikahi satu orang dan tidak diperkenankan
adanya perceraian.
Dalam
bab ini juga ia memaparkan mengenai kekhawatiran-khawatiran individu dalam
menghadapi kematian, karena kematian tidak dapat diprediksikan oleh manusia.
Hanya Tuhan yang mempunyai hak untuk itu. Kematian
tidak dapat disangkal, sekalipun kita menginginkan kehidupan yang bahagia,
tetap akan tahu bahwa kita akan mati. Kesiapsiagaan tak akan terelakan karena
kita fokus bagaimana menjadi yang terbaik untuk hidup yang berarti di sisa
waktu kita: macam-macam karir yang dikejar demi membuat kita bahagia, namun ada
beberapa orang membutuhkan suatu jalinan persahabatan dalam masa yang panjang.
Ia
juga memaparkan bahwa dengan tidak bisa diprediksinya kematian, membuat
sebagian orang memilih untuk hidup lebih baik lagi. Ada suatu gambaran kehidupan yang lebih baik, mereka
menghadapi ketidakpastian kematian dengan segera menginvestasikan tenaga mereka
untuk menetapkan situasi dan gambaran dari harapan orang lain, dengan selalu
berusaha untuk menciptakan realita sosial yang berarti (Berger dan Luckmann,
1967). Fakta lainnya, kita menciptakan sesuatu yang berarti dalam sebuah
institusi. Selain itu, nilai ekonomi dan pendidikan yang semakin meluas dari
tahun ke tahun. Tetapi hanya terikat bahwa perguruan tinggi dan universitas
hanya untuk penempatan kerja semata.
Sosiologi
Berkaitan
dengan sosiologi,
Durkheim menyatakan bahwa sosiologi merupakan sarana untuk memperbaiki kesejahteraan
manusia dengan pendekatan sosiologi klasik kita
dapat memahami masyarakat, seperti teori suicidenya
Durkheim.
Sebagian besar orang
berpikir suicide atau bunuh diri merupakan
gambaran aksi anti sosial. Menyederhanakan pendapatnya Durkheim ada 3 level solidaritas sosial dalam tingginya tingkat bunuh diri:
- Solidaritas lemah:
pendapat Durkheim menyatakan bahwa karakteristik golongan dan masyarakat
yang rendah level solidaritas sosialnya memiliki tingkat bunuh diri yang
lebih tinggi, karena ia jarang berinteraksi, rendahnya nilai dan standar moral, hal ini menjadikan individu memiliki solidaritas rendah.
- Solidaritas menengah: jika menginginkan tingkat bunuh diri menurun, kita
harus mempunyai sosok yang memliki ikatan kuat di masyarakat modern.
Sebagai contoh, Amerika Utara yang menciptakan sistem yang berkualitas
tinggi, yang dapat diakses, misalnya penitipan anak. Kemudian anak-anak akan
lebih baik jika diawasi, menikmati interaksi dengan teman sebayanya dan
orang dewasa, dan saling bersosialisasi. Di waktu yang bersamaan, orang
dewasa lainnya (ibu tunggal) melakukan pekerjaan dan ikatan sosial baru
dengan rekan kerjanya. Demikian peningkatan level solidaritas sosial, kita
harap dapat menurunkan angka bunuh diri.
- Solidaritas
tinggi: meskipun secara umum ada kemunduran di dalam solidaritas sosial,
beberapa golongan mempunyai karakteristik luarbiasa pada level solidaritas
yang tinggi. Ketika anggotanya terancam, mereka rela mengorbankan hidup
mereka demi melindunginya. Sebagai contoh, seorang tentara yang mempunyai
hubungan dekat dengan militer mungkin akan mengorbankan dirinya untuk
melindungi temannya.
Teori Suicide Durkheim
Durkheim
menyebutkan bahwa bunuh diri pada solidaritas tinggi dinamakan Altruistic. Berbeda dengan yang terjadi
pada solidaritas rendah digambarkan menurut Durkheim sebagai Egoistic/Anomic.
-
Egoistic suicide, akibat
dari kurangnya integrasi dari individu dalam masyarakat karena lemahnya ikatan
sosial
-
Anomic suicide, akibat
norma sebagai sesuatu yang memerintah masih samar-samar. Adanya ketidakjelasan
dari suatu norma.