kursor berjalan

Jumat, 18 September 2015

Review: Sociology as life or death issue, Robert J. Brym


Dalam buku ini, Robert J. Brym membahas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan kematian individu yang bermasyarakat. Pada bab I, ia menggambarkan bagaimana kematian dipandang bagi masing-masing individu. Dalam pembahasannya, ia membedakan pandangan antara individu yang beragama dengan tidak. Individu yang beragama cenderung kurang mengkhawatirkan akan kematian, karena ia percaya adanya suatu ganjaran. Ia juga memaparkan isu kematian dengan menganalogikan seperti aturan permainan bagi anak-anak. Di mana setiap permainan memiliki cara main atau aturan mainnya masing-masing. Seperti dalam pembahasannya, setiap orang memiliki pandangan sendiri tentang kematian seperti halnya anak kecil yang sedang bermain, di mana di dalam permainannya adakalanya kita ‘mati. Seperti dalam permainan petak umpet, siapa yang tertangkap maka ia mati. Ketika dia mati, maka dia tidak bisa mengikuti permainannya, saat itulah dia bisa istirahat. Beberapa orang yang beragama terkadang kurang mencemaskan kematian karena mereka percaya adanya ganjaran dan kehidupan yang abadi di surga. Agama membuat seseorang mematuhi perturannya, karena di dalam agama terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi bagi tiap pemeluknya. Misalnya, salah satu peraturan dalam suatu agama, bahwa pernikahan hanya dapat menikahi satu orang dan tidak diperkenankan adanya perceraian.
Dalam bab ini juga ia memaparkan mengenai kekhawatiran-khawatiran individu dalam menghadapi kematian, karena kematian tidak dapat diprediksikan oleh manusia. Hanya Tuhan yang mempunyai hak untuk itu. Kematian tidak dapat disangkal, sekalipun kita menginginkan kehidupan yang bahagia, tetap akan tahu bahwa kita akan mati. Kesiapsiagaan tak akan terelakan karena kita fokus bagaimana menjadi yang terbaik untuk hidup yang berarti di sisa waktu kita: macam-macam karir yang dikejar demi membuat kita bahagia, namun ada beberapa orang membutuhkan suatu jalinan persahabatan dalam masa yang panjang.
Ia juga memaparkan bahwa dengan tidak bisa diprediksinya kematian, membuat sebagian orang memilih untuk hidup lebih baik lagi. Ada suatu gambaran kehidupan yang lebih baik, mereka menghadapi ketidakpastian kematian dengan segera menginvestasikan tenaga mereka untuk menetapkan situasi dan gambaran dari harapan orang lain, dengan selalu berusaha untuk menciptakan realita sosial yang berarti (Berger dan Luckmann, 1967). Fakta lainnya, kita menciptakan sesuatu yang berarti dalam sebuah institusi. Selain itu, nilai ekonomi dan pendidikan yang semakin meluas dari tahun ke tahun. Tetapi hanya terikat bahwa perguruan tinggi dan universitas hanya untuk penempatan kerja semata.

Sosiologi
Berkaitan dengan sosiologi, Durkheim menyatakan bahwa sosiologi merupakan sarana untuk memperbaiki kesejahteraan manusia dengan pendekatan sosiologi klasik kita dapat memahami masyarakat, seperti teori suicidenya Durkheim.
Sebagian besar orang berpikir suicide atau bunuh diri merupakan gambaran aksi anti sosial. Menyederhanakan pendapatnya Durkheim ada 3 level solidaritas sosial dalam tingginya tingkat bunuh diri:
  1. Solidaritas lemah: pendapat Durkheim menyatakan bahwa karakteristik golongan dan masyarakat yang rendah level solidaritas sosialnya memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi, karena ia jarang berinteraksi, rendahnya nilai dan standar moral, hal ini menjadikan individu memiliki solidaritas rendah.
  2. Solidaritas menengah: jika menginginkan tingkat bunuh diri menurun, kita harus mempunyai sosok yang memliki ikatan kuat di masyarakat modern. Sebagai contoh, Amerika Utara yang menciptakan sistem yang berkualitas tinggi, yang dapat diakses, misalnya penitipan anak. Kemudian anak-anak akan lebih baik jika diawasi, menikmati interaksi dengan teman sebayanya dan orang dewasa, dan saling bersosialisasi. Di waktu yang bersamaan, orang dewasa lainnya (ibu tunggal) melakukan pekerjaan dan ikatan sosial baru dengan rekan kerjanya. Demikian peningkatan level solidaritas sosial, kita harap dapat menurunkan angka bunuh diri.
  3. Solidaritas tinggi: meskipun secara umum ada kemunduran di dalam solidaritas sosial, beberapa golongan mempunyai karakteristik luarbiasa pada level solidaritas yang tinggi. Ketika anggotanya terancam, mereka rela mengorbankan hidup mereka demi melindunginya. Sebagai contoh, seorang tentara yang mempunyai hubungan dekat dengan militer mungkin akan mengorbankan dirinya untuk melindungi temannya.

Teori Suicide Durkheim
Durkheim menyebutkan bahwa bunuh diri pada solidaritas tinggi dinamakan Altruistic. Berbeda dengan yang terjadi pada solidaritas rendah digambarkan menurut Durkheim sebagai Egoistic/Anomic.
-          Egoistic suicide, akibat dari kurangnya integrasi dari individu dalam masyarakat karena lemahnya ikatan sosial
-          Anomic suicide, akibat norma sebagai sesuatu yang memerintah masih samar-samar. Adanya ketidakjelasan dari suatu norma.