(Studi kasus di komunitas Desa Tempel RT 005/02
Kecamatan Lelea; Indramayu – Jawa Barat)
Indria Retna Mutiar[1]
(Pend. Sosiologi Nonreg 2010,
4815107123)
PENGANTAR
Penelitian ini hendak
mendeskripsikan fenomena perubahan sosial pada komunitas warga Ds.Tempel RT
005/02. Perubahan sosial ini sangat terlihat jelas dengan bergesernya permainan
tradisional yang dulu sempat menjadi trend
di komunitas desa tersebut. Merambahnya teknologi membawa perubahan pada warga
Ds.Tempel RT 005/02 ini. Sebelum teknologi masuk ke desa ini,
permainan-permainan tradisional sering dimainkan oleh anak-anak, baik pada sore maupun malam hari.
Permainan-permainan ini merupakan salah satu media sosialisasi, walaupun mereka
tidak menyadari hal tersebut.
Permainan tradisional
dapat membentuk kekreatifan bagi anak, karena permainan-permainan tradisional
melatih anak berimajinasi dalam memainkannya, serta dapat menumbuhkan kesabaran
dan ketekunan dalam membuatnya, contohnya saja dalam memainkan layang-layang.
Layang-layang merupakan salah satu permainan tradisional yang membutuhkan
ketekunan dan kesabaran dalam memainkannya. Selain itu permainan-permainan
tradisional akan lebih menarik apabila di mainkan oleh banyak anak, disini
peran penting permainan tradisional dalam melatih anak bersosialisasi dengan
anak-anak seusianya. Namun seiring kemajuan teknologi yang kian di rasakan,
pergeseran permainan tradisional pun semakin terlihat. Media-media khususnya
televisi yang menyajikan berbagai macam acara yang menarik menjadi salah satu
faktor pemicu terpinggirkannya permainan tradisional. Disamping itu, mobilitas
sosial vertikal juga merupakan salah satu faktor pendorong perubahan ini.
Terjadinya mobilitas sosial vertikal sebagian masyarakat, membuat mudahnya mengikuti perkembangan
teknologi yang ada. Hal ini menjadi perhatian penulis untuk mencoba mengkaji
lebih jauh lagi tentang perubahan sosial yang terjadi di komunitas Desa Tempel
RT 005/02 ini dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di desa tersebut.
Disini, ada beberapa poin yang ingin penulis telaah lebih jauh. Pertama, menjelaskan mengapa teknologi dapat
berpengaruh terhadap pergeseran permainan tradisional? Kedua, faktor apa sajakah yang melatarbelakangi perubahan tersebut?
Tulisan ini akan
disajikan dalam lima bagian. Pertama,
pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan pokok dan tujuan penulisan. Kedua, mendeskripsikan sekilas tentang Desa
Tempel. Ketiga, menjelaskan fase
pergeseran permainan tradisional. Keempat,
menjelaskan tentang pergeseran permainan tradisional sebagai gejala perubahan
sosial. Kelima, penutup yaitu
mencakup kesimpulan dari penulisan paper “Teknologi Berpengaruh Terhadap Pergeseran Permainan
Tradisional” yang terjadi di masyarakat Desa Tempel RT 005/02 sebagai bentuk
gejala perubahan sosial.
DESKRIPSI
WILAYAH DESA TEMPEL RT 005/02
Sekilas
Tentang Desa Tempel
Desa tempel berasal
dari kata “nempel” yang artinya melekat. Nama ini diberikan oleh ki buyut
srukun. Menurut salah satu informan, ki buyut srukun ini adalah orang yang
memberi nama sekaligus orang pertama yang tinggal di desa tempel ini[2].
Desa tempel berada pada
kondisi yang strategis untuk lahan pertanian, sehingga penduduknya sebagian
besar bekerja di sektor pertanian. Luas wilayah Ds. Tempel seluruhnya sekitar
545 Ha, terdiri dari: Pertanian sekitar 450 Ha, selebihnya merupakan rumah
penduduk dan pekarangan/tanah kosong. Pada tahun 1996-an masyarakat Ds.Tempel
RT 005/02 di dominasi oleh sektor pertanian, sekitar 85 % masyarakatnya adalah
petani. Desa yang cukup jauh dari jalan raya ini, menjadi salah satu faktor
sulitnya jangkauan teknologi dan informasi. Selain itu sebagian besar
masyarakatnya merupakan kalangan ekonomi bawah sehingga jarang sekali anak-anak
yang mampu membeli permainan-permainan modern. Kondisi seperti ini menjadikan
sulitnya anak-anak mengenal permainan-permainan modern, terlebih lagi belum
adanya saluran listrik yang masuk ke desa tersebut, sehingga sulit untuk
mengakses teknologi dan informasi. Adapun media yang dapat diakses pada saat
itu hanya radio dan televisi hitam putih yang masih menggunakan akumulator, itu
pun hanya beberapa rumah saja yang memilikinya. Kemudian pada tahun 1997,
listrik masuk ke desa tersebut. Namun pada saat itu hanya beberapa rumah saja
yang beralih dari “obor” ke listrik, mengingat banyak masyarakat yang tidak
mampu untuk memasang listrik di rumahnya.
FASE
PERGESERAN PERMAINAN TRADISIONAL
a. Fase I: Periode tahun 1996 – 1999
Pada
periode ini permainan anak belum di dominasi oleh permainan-permainan modern.
Pada tahun 1996, tidak adanya saluran listrik, televisi pun masih menggunakan
akumulator, acara televisi pun pada saat itu di anggap tidak menarik. Di
samping itu, lingkungan sekitar rumah banyak ditanami pepohonan serta pekarangan[3]
yang cukup banyak pada saat itu, hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
anak-anak untuk berkumpul dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Selain
suasana yang adem, sore hari
merupakan waktu luang mereka setelah sekolah.
Umumnya
permainan-permainan yang biasa mereka mainkan dibuat oleh tangan mereka
sendiri, seperti misalnya: pistol-pistolan yang terbuat dari bambu,
orang-orangan yang terbuat dari tanah liat atau pun dari daun pisang,
rumah-rumahan dari tanah liat dan masih banyak yang lainnya. Jenis permainan
ini merupakan jenis permainan yang melatih kekreatifitasan anak-anak pada saat
itu, karena sebelum memainkannya mereka harus membayangkan apa yang akan mereka
mainkan, lalu membuatnya. Hal itu dapat memunculkan kekreatifitasan anak-anak,
selain itu ada banyak permainan yang melatih ketangkasan dan kekompakan team,
seperti misalnya: permainan bola kasti, slodor, cublek-cublek suweng (semacam
petak umpet), jebrag dan masih banyak yang lainnya. Permainan-permainan seperti
ini dapat melatih rasa solidaritas di antara mereka sehingga bermain tanpa
teman terasa tidak menyenangkan.
Permainan-permainan
tradisional ini turun-temurun, karena pada saat itu sebagian besar ibu-ibu di
komunitas Ds.Tempel ini di dominasi oleh ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu luang sehingga
banyak dari mereka mensosialisasikan permainan-permainan tradisional tersebut. Selain itu, ketidak terjangkauan
untuk membeli permainan modern menjadi salah satu penyebabnya. Walaupun
demikian, tidak ada anak-anak yang mengeluh dengan permainan-permainan yang
ada, karena permainan yang mereka mainkan adalah hasil karya mereka sendiri.
Pada
fase ini, dapat dikatakan alat-alat bermain yang digunakan masih sederhana,
tetapi dengan permainan-permainan sederhana itu akan muncul kekreatifan dan
kesabaran dalam membuatnya. Usia anak-anak memang tidak lepas dari bermain, bahkan
bermain merupakan rutinitas yang dilakukan anak-anak setiap harinya. Walaupun
pada saat itu alat-alat permainan terbilang sederhana, namun itu tidak menjadi
hal yang menyedihkan bagi mereka. Kemudian, di periode ini, bermain tidak hanya
di lakukan pada sore hari saja, tetapi pada malam hari khususnya pada saat
terang bulan anak-anak sering berkumpul di depan teras rumah untuk bermain,
bukan saja anak-anak, para orang tua pun ikut berkumpul bersama
tetangga-tetangga mereka. Malam hari merupakan kondisi yang pas untuk kumpul bersama. Kondisi
seperti ini dapat mempererat hubungan antar
tetangga, rasa kekeluargaan yang di rasakan sangat terlihat pada saat itu. Di bawah ini adalah gambar suasana pekarangan
rumah pada sore hari :
Gambar 1
Pekarangan rumah
yang sering dijadikan tempat bermain anak
Sumber
gambar : Dokumentasi penulis
Dari
gambar di atas, terlihat suasana sore hari yang rindang karena di kelilingi pepohonan, sehingga menjadi saat-saat yang
strategis untuk berkumpul dan bermain dengan teman-teman. Permainan-permainan
tradisional merupakan permainan yang bisa dikatakan menyatu dengan alam, karena
dimainkan di luar rumah dengan memanfaatkan apa yang ada di alam (lingkungan
sekitar rumah). Sebuah permainan yang dapat mempererat hubungan pertemanan dan
melatih kekreatifitasan ini dapat dimainkan dengan alat-alat seadanya, artinya
alat-alat yang digunakan masih sangat sederhana. Berikut daftar nama anak yang
pada fase ini berusia 4-7 tahun dan sering bermain:
Tabel 1
Daftar nama anak pada fase I
No.
|
Nama
|
1.
|
Karyadi
|
2
|
Desy
|
3.
|
Wiwin
|
4.
|
Isa
|
5.
|
Rina
|
6.
|
Arif
|
7.
|
Ely
|
8.
|
Samsudin
|
Sumber: Hasil
Penelusuran Penulis
Pada fase ini juga orang tua tidak
mengharuskan anaknya untuk sekolah, pola pikir masyarakat saat itu masih
berpikir “pendidikan itu tidak penting” yang terpenting anaknya sudah bisa
membaca, menulis dan berhitung, sehingga pada fase ini tingkat pendidikan di
dominasi tamatan SD (Sekolah Dasar). Masyarakat yang dominasi
matapencahariannya petani ini, lebih menekankan anaknya untuk menjadi petani,
hal ini di maksud agar pekerjaan yang mereka geluti di lanjutkan oleh
anak-anaknya.
b. Fase II: Periode tahun 2000 – 2007
Pada
periode tahun 2000 – 2007 ini, mulai mengalami perubahan. Meningkatnya
mobilitas sosial vertikal menjadi salah satu faktor penyebabnya, Alat
transportasi pun meningkat, selain itu pada periode ini teknologi telah berkembang
dan memasuki komunitas desa tersebut. Hampir semua rumah memiliki televisi, televisi
yang menyajikan berbagai acara menarik, terlebih lagi pada hari-hari libur,
acara televisi dikemas sedemikian rupa agar menarik minat anak untuk
menontonnya, seperti misalnya cartoon
dan masih banyak yang lainnya. Hal ini yang membuat berkurangnya minat
anak-anak untuk bermain. Acara-acara televisi juga menjadi figur bagi
anak-anak, terkadang anak-anak menyerap informasi dari apa yang ia lihat dan
kemudian meniru hal tersebut, mungkin bisa dikatakan sebagai tahap imitasi.
Permainan
anak-anak yang mendominasi pada fase ini telah modern, seperti misalnya: mobil
tamiya, mobil remote control, robot-robotan,
barbie dan masih banyak yang lainnya. Sebagian besar anak-anak pada fase ini
telah beralih ke permainan-permainan modern, selain dari orang tua yang mampu
membelikan permainan-permainan tersebut, ada pengaruh dari televisi juga yang
mendorong keinginan anak untuk memiliki permainan-permainan tersebut. Keadaan
seperti ini dimanfaatkan bagi beberapa orang, yaitu mereka yang memulai
bisnisnya dengan menyediakan track (jalur mobil tamiya) dan menyewakannya bagi
anak-anak yang ingin bermain. Tentu saja pada saat itu anak-anak sangat
tertarik, karena sebagian besar teman-temannya beralih ke permainan tersebut. Tetapi
pada fase ini tidak sepenuhnya permainan tradisional di tinggalkan, karena pada
waktu-waktu tertentu mereka masih suka memainkan permainan-permainan
tradisional, walaupun sudah terlihat jarang karena tersisihkan oleh permainan canggih yang trend pada waktu itu.
c. Fase III: Periode tahun 2007 –
sekarang
Pertambahan
jumlah penduduk terjadi pada fase ini, terlihat dari berkurangnya
pekarangan/lahan kosong yang kini telah di bangun rumah-rumah penduduk,
jalan-jalan pun telah di aspal walaupun tidak dengan konstruksi hotmik[4],
yang dulunya hanya gang sempit kini mulai di perbaiki menjadi jalan yang banyak
di lalui kendaraan, karena pada tahun 2007 ini alat transportasi sudah jarang
yang menggunakan sepeda. Pada fase I sepeda digunakan sebagai kendaraan untuk
berbelanja ataupun untuk berkunjung ke sanak-saudara, tetapi pada fase ini
sepeda hanya digunakan untuk pergi ke sawah, kondisi seperti ini sangat
terlihat jelas dengan perubahan-perubahan
yang terjadi di komunitas Ds. Tempel RT 005/02 ini.
Perkembangan
permainan pada fase ini dimulai dari adanya play
station dan kemudian di susul dengan keberadaan warnet yang menyediakan
berbagai macam game di dalamnya.
Tingkat pendidikan pada fase ini meningkat, selain dari peningkatan ekonomi, di
dorong juga oleh pola pikir masyarakatnya.
Pendidikan
yang di anggap sebagai kebutuhan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik
menjadi fokus utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya sampai pada
tingkat perguruan tinggi, selain itu anak-anak juga di tuntut untuk mengikuti
berbagai macam kegiatan sebagai persyaratan untuk sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi, seperti misalnya: madrasah (sekolah agama). Madrasah ini merupakan
salah satu persyaratan untuk masuk ke SMP (Sekolah Menengah Pertama). Kondisi
seperti ini membatasi ruang gerak anak untuk bermain.
Kemajuan
teknologi yang kian dirasakan berpengaruh terhadap bergesernya permainan
tradisional, misalnya saja game-game
yang marak saat ini. Permainan seperti ini membuat anak berada di dunia maya,
artinya yang mereka hadapi bukan dengan anak-anak seusianya, dimana mereka dapat
tertawa dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Tetapi game-game yang mereka gemari ini dapat berpengaruh
terhadap pola pikir mereka, yang semula bermain merupakan saat dimana
berkumpulnya teman-teman, yang seakan-akan tidaklah asik bermain tanpa teman.
Tetapi saat ini, tanpa teman pun tidak masalah “yang penting bisa maen game”,
kondisi seperti inilah yang menjadikan mereka bersifat individualistis, karena
permainan-permainan seperti ini dapat dimainkan dengan sendiri. Game-game yang tersedia di warnet
biasanya menyediakan berbagai fitur-fitur yang menarik, selain itu
keterjangkauan mereka dalam mengakses baik dari segi biaya maupun jarak yang
tidak jauh dari rumah juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab
tersisihkannya permainan-permainan tradisional.
Semula,
anak-anak bermain di sekitar rumah dengan berbagai gerak yang mereka lakukan,
tetapi sekarang hanya dengan menghadapi layar tanpa menghiraukan di sekitarnya.
Di bawah ini di sajikan tabel perbandingan pergeseran permainan tradisional
pada tiap fase, yaitu sebagai berikut :
Tabel Perbandingan Dari Tiap Fase
Perbandingan
|
Fase
I
|
Fase
II
|
Fase
III
|
Ruang
bermain
|
Halaman
rumah/pekarangan
Ds. Tempel RT 005/02
|
Halaman
rumah/pekarangan
Ds. Tempel RT 005/02
|
Rumah
masing-masing, warnet
|
Jenis
Permainan
|
pistol-pistolan yang
terbuat dari bambu, orang-orangan yang terbuat dari tanah liat atau pun dari
daun pisang, rumah-rumahan dari tanah liat, permainan bola kasti, slodor,
cublek-cublek suweng (semacam petak umpet), jebrag
|
mobil tamiya, mobil remote control, robot-robotan, Barbie,
pistol-pistolan yang terbuat dari bambu, permainan bola kasti, slodor
|
play
station, game online
|
Pola
Permainan
|
Kolektif
|
Kolektif
|
Individualistis
|
Sumber
: Hasil penelusuran penulis
PERGESERAN
PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI GEJALA PERUBAHAN SOSIAL
Perilaku seorang anak,
selain di pengaruhi oleh pola asuh orang tua juga dapat di pengaruhi oleh
lingkungan dan apa yang mereka lihat. Anak yang di besarkan di lingkungan pada
saat belum berkembangnya teknologi akan berbeda dengan anak di masa sekarang.
Mereka yang masa kecilnya tidak mengenal teknologi beranggapan bahwa teman
merupakan “sahabat bermain yang asik” seperti yang terjadi pada fase I,
permainan yang mereka lakukan merupakan permainan-permainan kolektif sehingga
memunculkan rasa keakraban antar sesama teman, serta adanya rasa saling
membutuhkan satu sama lain karena tanpa teman maka permainan tidak akan
menyanangkan. Ketika malam hari pun mereka menikmati bermain mereka dengan
teman-teman, selain saat berkumpul bersama juga merupakan suatu rutinitas pada
saat itu. keadaan seperti ini lambat-laun telah berubah, seiring perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi yang kian di rasakan menjadi pemicu perubahan
tersebut.
Permainan adalah suatu
bentuk rutinitas yang dilakukan anak-anak, karena pada usia anak-anak mereka
cenderung selalu ingin mencoba-coba serta meniru apa yang mereka lihat. Seperti
yang terjadi pada fase II, pada fase ini, dimana telah masuk dan berkembangnya
teknologi menjadi salah satu kemajuan tetapi berdampak pada perubahan-perubahan
yang dirasakan. Alat-alat permainan pada fase ini telah berganti menjadi
permainan-permainan modern, sehingga terjadi pergeseran pola bermain mereka.
Salah satu yang besar pengaruhnya pada saat itu adalah televisi, acara televisi
dapat mempengaruhi minat anak untuk bermain terlebih lagi dalam acara tersebut
menampilkan permainan-permainan canggih seperti mobil tamiya, sehingga
keinginan anak untuk memilikinya lebih besar. Dengan demikian, anak selalu
melakukan proses imitasi, dimana seorang anak akan selalu meniru orang
terdekatnya atau pun hal yang menjadi idolanya.
Pada saat memasuki fase
III, terlihat perubahan yang cukup mencolok. Peningkatan status sosial merupakan
faktor penyebabnya. Kemampuan orang tua dalam hal ekonomi, mengakibatkan
seorang anak dapat memiliki apa pun yang ia inginkan. Terlebih lagi, saat ini (Tahun
2012) telah di warnai dengan keberadaan warnet yang menyajikan berbagai macam
informasi dan juga permainan-permainan yang menarik untuk anak-anak. Sehingga,
anak-anak lebih menyukai permainan-permainan yang disajikakan secara instan,
karena pada permainan tradisional anak-anak di haruskan untuk membuat dan
merangkai model permainan yang ia senangi, tetapi pada game-game yang tersedia di warnet ini anak-anak hanya tinggal
membayar dan selanjutnya dapat menikmati game-game
yang mereka gemari.
PENUTUP
Dari uraian-uraian di
atas memperlihatkan perubahan sosial di komunitas Ds. Tempel RT 005/02.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dorong karena adanya mobilitas sosial
vertikal sebagian warga desa tersebut. Kemapanan orang tua dalam bidang
ekonomi, menyebabkan orang tua lebih memanjakan anak-anaknya dengan materi,
misalnya dengan menaikkan uang jajan mereka, dengan begitu mereka dapat leluasa
untuk membeli permainan yang mereka senangi. Hal seperti ini dapat berpengaruh
terhadap pola pikir anak, karena orang tua merupakan agen sosialisasi primer
yang pengaruhnya sangat besar bagi proses perkembangan anak. Selain itu,
perubahan juga dapat dipengaruhi oleh tontonan-tontonan yang bersumber dari
media, sehingga ini menjadi sesuatu yang dapat merubah keinginan anak untuk
bermain permainan yang mereka anggap sudah ketinggalan zaman, sementara proses
sosialisasi dari media-media tersebut telah terinternalisasi sehingga anak
lebih memilih untuk bermain permainan yang nge-trend
pada saat ini. Alasan-alasan
tersebut yang menyebabkan perubahan sosial di komunitas Desa Tempel RT 005/02.
Tulisannya sangat membantu...terimakasih
BalasHapus