Post-modern lahir sebagai kritik terhadap teori
sosiologi klasik dan modern, yang menganggap kurikulum sebagai bentuk pemerataan, sementara
post-modern memandang kurikulum bukan hanya sebagai pemerataan tetapi juga
harus melihat kondisi yang ada di lingkungannya (lokalitas). Penyesuaian
kurikulum sangat penting, karena kurikulum bukan hanya bentuk pemerataan tetapi
juga harus melihat kondisi yang ada di daerah masing-masing, sehingga siswa
tidak merasa terasingkan di daerahnya. Seperti yang tercantum dalam UU 20 Tahun
2003 tentang sisdiknas bab 1 pasal 1
ayat 19 mengatakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan[1].
Tujuan pendidikan tercapai apabila hasil sesuai
dengan perencanaan. Menurut pandangan klasik dan modern, pemerataan kurikulum
bertujuan agar tidak terjadi ketimpangan atau ketidakmerataan, namun pada
kenyataannya penyetaraan itu tidak disertai dengan melihat kondisi yang ada,
sehinga tidak sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah. Disini
lahirlah kritikan-kritikan post-modern yang menanggapi masalah tersebut.
Menurut Apple, kurikulum bukanlah sebuah ruang kosong namun mengandung ideologi[2].
Dimana di dalam kurikulum terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Perspektif post-modern memandang kurikulum
sebagai bagian dari tujuan pendidikan, lebih tepatnya sebagai kerangka dari
tujuan pendidikan. Kerangka tersebut merupakan pedoman bagi tercapainya tujuan
pendidikan. Di dalam perspektif post-modern, lebih menekankan pada lokalitas,
maksudnya kurikulum harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di tiap-tiap
daerah agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan pendidikan. Dalam prespektif post-modern kurikulum
merupakan
bagian dari metanarasi kecil yang bersifat lokalitas. Seperti
yang telah di jelaskan di atas, bahwasanya kurikulum harus memperhatikan
kondisi yang ada di daerahnya masing-masing sehingga tidak terjadi ketimpangan,
inilah yang dimaksud lokalitas dalam perspektif post-modern mengenai kurikulum.
Dalam kondsi seperti ini, kurikulum juga mengarah
pada kontestasi, dimana di dalam pendidikan bukan saja pada ranah transfer ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai, tetapi lebih pada arah kontestasi yang di dalamnya
terdapat persaingan-persaingan yang saling bernegosiasi maupun berkompetisi.
Dalam hal ini tentu ada keterkaitannya dengan penguasa yang masing-masing
memiliki kepentingan-kepentingan. Jadi kurikulum merupakan bentuk dari produk
pengetahuan yang di produksi oleh pemenang dari kontestasi tersebut[3].
Hal ini juga dapat dikatakan, bahwa ada kekuasaan di dalam pendidikan.
Pendidikan bukan lagi sebagai penyalur bakat-bakat individu tetapi adanya
kekuasaan di dalamnya, menjadikan pendidikan sebagai sarana atau ajang
kontestasi bagi penguasa dan negara. Kontestasi disini merupakan bentuk
perjuangan dan pertarungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan
produk kurikulum. Ini jelas terlihat, kondisi yang dirasa sekarang bahwa kurikulum
sebagai ajang kontestasi bagi penguasa. Setiap pergantian penguasa berganti juga
kurikulumnya, ini merupakan salah satu bentuknya.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi yang direncanakan sebagai pedoman dalam
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan kerangka awal dalam
pendidikan. Tujuan pendidikan akan tercapai apabila hasil akhir sesuai dengan
apa yang direncanakan/rencana awal.
Namun, di dalam kenyataannya kurikulum dirasa
mengarah pada kontestasi yang didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan
tertentu dan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut
pandangan post-modern kurikulum bukan saja harus mengarah pada kesetaraan,
tetapi juga harus melihat kondisi atau potensi yang ada di tiap-tiap daerah,
sehingga tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan. Disini terlihat jelas sekali,
bahwa post-modern lahir sebagai bentuk kritik terhadap pandangan klasik dan
modern, yang melihat kurikulum hanya terpusat pada pemerataan di dalamnya,
tanpa melihat kondisi yang ada di tiap-tiap daerah.
Dalam hal ini juga, kurikulum dianggap sebagai
bentuk kontestasi yang mengarah pada persaingan dan perjuangan. Seperti yang
telah dipaparkan di atas, bahwa terdapat kepentingan-kepentingan penguasa di
dalamnya. Seperti gagasan Foucault tentang
konsep kekuasaan menjelaskanbah wa konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja
dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan (Pradipto, 2004:5). Kurikulum
merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh mereka yang berkuasa, salah
satunya adalah negara.[4]
Dari pemaparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa, di dalam kurikulum terdapat kepentingan-kepentingan
pihak-pihak tertentu, dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan produk dari
penguasa yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga pendidikan
sekarang bukan lagi sebagai penyalur bakat-bakat, tetapi juga mengarah pada
kontestasi dan kontestasi-kontestasi tersebut berkaitan dengan kepentingan-kepentingan
penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar