kursor berjalan

Kamis, 14 Maret 2013

Perspektif Post-Modern Tentang Kurikulum


Post-modern lahir sebagai kritik terhadap teori sosiologi klasik dan modern, yang menganggap kurikulum  sebagai bentuk pemerataan, sementara post-modern memandang kurikulum bukan hanya sebagai pemerataan tetapi juga harus melihat kondisi yang ada di lingkungannya (lokalitas). Penyesuaian kurikulum sangat penting, karena kurikulum bukan hanya bentuk pemerataan tetapi juga harus melihat kondisi yang ada di daerah masing-masing, sehingga siswa tidak merasa terasingkan di daerahnya. Seperti yang tercantum dalam UU 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas  bab 1 pasal 1 ayat 19 mengatakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan[1].
Tujuan pendidikan tercapai apabila hasil sesuai dengan perencanaan. Menurut pandangan klasik dan modern, pemerataan kurikulum bertujuan agar tidak terjadi ketimpangan atau ketidakmerataan, namun pada kenyataannya penyetaraan itu tidak disertai dengan melihat kondisi yang ada, sehinga tidak sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah. Disini lahirlah kritikan-kritikan post-modern yang menanggapi masalah tersebut. Menurut Apple, kurikulum bukanlah sebuah ruang kosong namun mengandung ideologi[2]. Dimana di dalam kurikulum terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Perspektif post-modern memandang kurikulum sebagai bagian dari tujuan pendidikan, lebih tepatnya sebagai kerangka dari tujuan pendidikan. Kerangka tersebut merupakan pedoman bagi tercapainya tujuan pendidikan. Di dalam perspektif post-modern, lebih menekankan pada lokalitas, maksudnya kurikulum harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pendidikan. Dalam prespektif post-modern kurikulum merupakan bagian dari metanarasi kecil yang bersifat lokalitas. Seperti yang telah di jelaskan di atas, bahwasanya kurikulum harus memperhatikan kondisi yang ada di daerahnya masing-masing sehingga tidak terjadi ketimpangan, inilah yang dimaksud lokalitas dalam perspektif post-modern mengenai kurikulum.
Dalam kondsi seperti ini, kurikulum juga mengarah pada kontestasi, dimana di dalam pendidikan bukan saja pada ranah transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, tetapi lebih pada arah kontestasi yang di dalamnya terdapat persaingan-persaingan yang saling bernegosiasi maupun berkompetisi. Dalam hal ini tentu ada keterkaitannya dengan penguasa yang masing-masing memiliki kepentingan-kepentingan. Jadi kurikulum merupakan bentuk dari produk pengetahuan yang di produksi oleh pemenang dari kontestasi tersebut[3]. Hal ini juga dapat dikatakan, bahwa ada kekuasaan di dalam pendidikan. Pendidikan bukan lagi sebagai penyalur bakat-bakat individu tetapi adanya kekuasaan di dalamnya, menjadikan pendidikan sebagai sarana atau ajang kontestasi bagi penguasa dan negara. Kontestasi disini merupakan bentuk perjuangan dan pertarungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan produk kurikulum. Ini jelas terlihat, kondisi yang dirasa sekarang bahwa kurikulum sebagai ajang kontestasi bagi penguasa. Setiap pergantian penguasa berganti juga kurikulumnya, ini merupakan salah satu bentuknya.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi yang direncanakan sebagai pedoman dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan kerangka awal dalam pendidikan. Tujuan pendidikan akan tercapai apabila hasil akhir sesuai dengan apa yang direncanakan/rencana awal.
Namun, di dalam kenyataannya kurikulum dirasa mengarah pada kontestasi yang didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan tertentu dan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut pandangan post-modern kurikulum bukan saja harus mengarah pada kesetaraan, tetapi juga harus melihat kondisi atau potensi yang ada di tiap-tiap daerah, sehingga tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan. Disini terlihat jelas sekali, bahwa post-modern lahir sebagai bentuk kritik terhadap pandangan klasik dan modern, yang melihat kurikulum hanya terpusat pada pemerataan di dalamnya, tanpa melihat kondisi yang ada di tiap-tiap daerah.
Dalam hal ini juga, kurikulum dianggap sebagai bentuk kontestasi yang mengarah pada persaingan dan perjuangan. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa terdapat kepentingan-kepentingan penguasa di dalamnya. Seperti gagasan Foucault tentang konsep kekuasaan menjelaskanbah wa konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan (Pradipto, 2004:5). Kurikulum merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh mereka yang berkuasa, salah satunya adalah negara.[4]  Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa, di dalam kurikulum terdapat kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu, dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan produk dari penguasa yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga pendidikan sekarang bukan lagi sebagai penyalur bakat-bakat, tetapi juga mengarah pada kontestasi dan kontestasi-kontestasi tersebut berkaitan dengan kepentingan-kepentingan penguasa.





[1] Suriani, Achmad Siswanto, materi kuliah sosiologi kurikulum “Prespektif Post-modern Tentang Kurikulum
Pokok Bahasan 5
[2] Ibid
[3] Rakhmat Hidayat, kurikulum sebagai arena kontestasi kekuasaan: konseptualisasi gagasan Michael Apple hingga Pierre Bourdieu
[4] Ibid 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar