kursor berjalan

Kamis, 14 Maret 2013

Analisis Artikel


“Memanusiawikan Anak Manusia”
Di dalam artikel yang berjudul “Memanusiawikan Anak Manusia” ini kurikulum pendidikan dirasa tidak merata, karena di Sekolah Dasar (SD) Buhut Jaya Kalimantan masih menggunakan kurikulum 1998, sementara kurikulum yang sekarang dipakai sudah menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Bukankah tujuan kurikulum menyamaratakan, agar tidak ada kesenjangan kualitas pendidikan? Namun pada kenyataannya, masih ada yang mengalami keterbelakangan/ketertinggalan dalam hal mengganti kurikulum yang baru.
 Disini, jarak menjadi kendala ketidakmerataannya pendidikan. Padahal, tujuan keseragaman kurikulum tidak lain untuk menghindari kesenjangan kualitas pendidikan. Namun, perlu diingat bahwa keseragaman kurikulum dapat terjadi ketidaksesuaian, karena dengan menyamaratakan standarisasi kurikulum, tanpa melihat kondisi geografis dan lingkungan yang ada di daerahnya masing-masing tentu akan menjadi tidak sesuai. Akibatnya peserta didik harus mengikuti dan patuh terhadap kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pada dasarnya kurikulum mengikuti perkembangan zaman, sama seperti di negara kita (Indonesia) yang telah beberapa mengganti kurikulum lama dengan yang baru. Dimulai dari kurikulum tahun 1947, tahun 1952, tahun 1964. Kemudian pada orde baru lahir empat kurikulum, yaitu kurikulum tahun 1968, tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994 dan pada masa reformasi lahir dua kurikulum, yaitu kurikulum tahun 2004 dan tahun 2006. Hal tersebut dapat terlihat bahwa, kurikulum selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Serta disesuaikan dengan kondisi pada saat itu, tapi pada kenyataannya sampai sekarang masih terjadi kesenjangan di dalamnya, karena peserta didik harus mengikuti apa yang telah ditetapkan kurikulum, akibatnya mereka terasingkan dari desanya sendiri, mereka menjadi objek bentukan bukan subjek pembelajaran yang sesuai dengan kecerdasan mereka, seperti yang terjadi di SD Buhut Jaya.
Kurikulum yang dirasakan sekarang sarat akan politik dan kepentingan penguasa, pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, namun peserta didik dituntut untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan. Pendidikan tidak menjadikan peserta didik sebagai robot, yang harus mengikuti semua sistem yang telah ditetapkan tanpa melihat kemampuan dan potensi yang ada di dalam setiap individu. Tetapi pendidikan harus memberikan kenyamanan bagi peserta didik dalam proses pembelajaran, dan ini adalah tugas guru dalam menjalankan pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga pendidikan dapat kembali menjadi pendidikan yang humanis.


Perspektif konflik
Dari contoh permasalahan yang ada di artikel tersebut, menurut saya lebih cocok menggunakan perspektif konflik. Karena di dalam perspektif konflik adanya kontestasi yang menekankan pada persaingan berbasis intelektual, dimana didalam kontestasi tersebut peserta didik dituntut untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh kurikulum agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Sehingga peserta didik dapat bersaing dengan peserta didik lainnya.
Di dalam perspektif konflik juga menjelaskan bahwa kurikulum diciptakan agar industrialisasi tetap berjalan, kurikulum dijadikan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Seperti yang terlihat pada artikel “Memanusiakan Anak Manusia”, di dalam penjelasan-penjelasannya, pendidikan dirasa dehumanis. Peserta didik dikarbit menjadi orang dewasa, mereka diarahkan menjadi orang dewasa mini. Di tingkat play group atau biasa dikenal dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) anak-anak sudah diajarkan membaca, menulis, berhitung, padahal di tingkatan ini seharusnya mereka belajar sambil bermain, dilatih ketangkasan dan kekreatifan dengan permainan-permainan yang memacu pada hal-hal tersebut.
Namun, pada kenyataannya pendidikan saat ini sudah mengarah pada penciptaan industrialisasi. Pendidikan menjadi ajang untuk berlomba-lomba dalam memasuki dunia pekerjaan. Patokan dari pendidikan terpusat pada nilai, bukan pada proses pembelajarannya. Sehingga mereka lebih mementingkan hasil bukan pada proses. Seperti yang terjadi pada masa orde baru, bahwasanya kurikulum saat itu sebagai pencipta lapangan kerja dan pabrik sumber daya. Dengan seperti itu, terlihat jelas bahwa kurikulum mengarah pada industrialisasi. Seperti yang telah disinggung di atas, menurut taori konfliknya Karl Marx bahwa, kurikulum diciptakan agar industrialisasi tetap berjalan, kurikulum juga dijadikan saluran untuk mengadaptasikan saluran kapitalisme. Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa kurikulum sekarang lebih mengacu pada industrialisasi, dimana peserta didik di bentuk dan diarahkan untuk memperoleh/mampu bersaing di dunia kerja. Pendidikan bukan lagi mengarah pada pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu, tetapi lebih pada keharusan setiap individu untuk mengikuti sistem yang ada, yaitu kurikulum yang telah ditetapkan.
Hal ini menjadi permasalahan bagi pendidikan di indonesia, karena peserta didik bukan lah sebuah robot yang diharuskan untuk mengikuti sistem yang mengarah pada pembentukan manusia sesuai dengan kondisi yang ada. Maksudnya yaitu, pembentukan yang mengarahkan pada penciptaan manusia yang mampu bersaing di dunia kerja tanpa melihat potensi yang ada di dalam diri setiap individu. Namun tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa yang terjadi saat ini memang seperti ini kondisinya. Persaingan di dalam dunia kerja yang begitu sulit, sehingga banyak yang menjadi buruh di negrinya sendiri. Pemerintahpun tidak memberikan ataupun mencari solusi untuk kondisi yang seperti ini. Akhirnya kondisi seperti ini tetap berjalan dan ada sampai sekarang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar