kursor berjalan

Senin, 27 Mei 2013

Laporan Hasil Bacaan Etnografi


Perubahan Sosial di Yogyakarta
Banyak peneliti-peneliti yang meneliti berbagai fenomena tentang kehidupan politik, sosial dan ekonomi di indonesia sebelum perang. Bahkan banyak peneliti dari luar yang tertarik untuk meneliti masalah-masalah yang ada di indonesia. Hal ini membuat banyaknya penelitian-penelitian/riset-riset yang telah dilakukan orang Barat di indonesia, sehingga dapat memperlihatkan cara pandang orang Barat terhadap penelitian yang mereka lakukan. Perbedaan-perbedaan di dalam penelitian yang dilakukan biasanya dilatarbelakangi oleh latar belakang budaya peneliti. Hal ini lah yang membedakan pemaparan dari hasil penelitian setiap orang, karena setiap orang mempunyai sudut pandangnya masing-masing terhadap suatu fenomena yang ada di dalam masyarakat.
Di dalam buku yang di tulis Selo Soemardjan ini, yang berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta” dikemas dalam suatu pemaparan yang terperinci, karena penulis melakukan riset mulai bulan agustus 1958 hingga januari 1959[1] serta observasi dan wawancara, penulis juga melakukan pengumpulan data dengan meneliti berbagai dokumen resmi serta koran-koran setempat[2], sehingga data-data yang terkumpul berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan. Penulis juga terjun langsung ke lapangan dan hidup ditengah-tengah masyarakat yang menjadi objek penelitian, yaitu dengan tinggal bersama penduduk setempat untuk memperoleh data yang diharapkan penulis. Dengan seperti itu, penulis dapat mengetahui informasi-informasi terirat maupun tersurat, karena bukan hanya data-data yang diperoleh tetapi juga berdasarkan pengamatan dan sudut pandang penulis maupun informan.
Adapun teknik wawancara yang dilakukan oleh penulis di dalam tulisan ini, yaitu wawancara sambil lalu dan observasi partisipan.  Penulis juga melakukan pengelompokan di dalam wawancara yang dilakukannya, melalui dua cara yaitu perorangan dan kelompok. Perorangan dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah ataupun perkantoran agar memperoleh pandangan informan ataupun data-data khusus yang diketahui oleh informan.[3] Penelitian secara kelompok dilakukan dengan mengumpulkan orang-orang yang berasal dari kerabat penduduk yang ditempati peneliti. Sehingga dapat dengan mudah mengumpulkan orang-orang (penduduk setempat) dengan seperti itu, maka penulis dapat dengan mudah mengelompokkan informan berdasarkan status sosialnya. Seperti halnya suatu penelitian, ketika ingin meneliti secara mendalam maka ia harus mengamati secara mendalam bahkan ikut merasakan apa yang terjadi di dalamnya. Lingkup pengamatan di bacaan tersebut mencakup ruang atau tempat, pelaku, aktivitas, benda atau alat, serta peristiwa yang terjadi.
Teknik pengamatan dengan keterlibatan peneliti didalam pengamatan yang dilakukannya, yaitu didalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya (Participant Observation) menggambarkan bahwa peneliti mengamati secara mendalam tentang kehidupan yang ada di masyarakat Yogyakarta. Sehingga dengan begitu, penulis dapat mengetahui perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Yogyakarta. Namun, didalam penelitiannya penulis mengalami kendala karena telah banyak masyarakat yang mengetahui identitas ia sebagai pamong praja sehingga masyarakat menilai status penulis.
Dengan melalui teknik pengamatan ini, penulis dapat dengan mudah memahami dan mempelajari gejala yang ada di masyarakat, terutama mengenai perubahan sosial yang menjadi pokok penelitian yang dilakukan penulis, karena penulis hidup ditengah-tengah masyarakat yang ditelitinya. Sehingga penulis dapat mempelajari dan memahami kebudayaan masyarakat setempat melalui kehidupan sehari-hari mereka. Dalam penelitian ini penulis (Selo Soemardjan) mencoba memahami gejala yang terjadi di masyarakat, dengan melakukan pendekatan mendalam terhadap informan serta mendengarkan informasi-informasi serta pandangan informan (emik), yang kemudian ia rangkum dan tarik kesimpulan melalui sudut pandanganya (etik). Jadi dalam metode pengamatan ini dilakukan pendeskripsian terhadap pola-pola kehidupan masyarakat sehingga dapat diketahui perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalamnya. Terlihat dari pemaparan penulis yang memaparkan tentang perubahan sosial dalam proses perubahan vertikal dan dalam proses perubahan horizontal.
Di dalam hasil pengamatan Selo Soemardjan tentang “Perubahan Sosial di Yogyakarta”, dia menggunakan teknik pendeskripsian secara naratif dengan mendeskripsikan setiap gejala yang ada serta menggabungkan unsur emik dan etik. Sehingga terlihat pemaparan yang terperinci. Terlihat dari pengamatannya yang selalu melihat dari sudut pandang informan dan sudut pandangnya sendiri. Sehingga adanya penggabungan unsur-unsur emik dan etik yang digunakan penulis di dalam penelitiannya. Hal ini dapat terlihat jelas dari pemaparan penulis pada saat teknik pengambilan data yang dilakukan, yaitu dengan wawancara mendalam kepada informan untuk meminta sudut pandangnya (informan) terhadap peristiwa yang terjadi.
Dalam tulisan Selo Soemardjan “Perubahan Sosial di Yogyakarta” juga menggunakan riwayat hidup dari informan yang ditelitinya. Terlihat dari penjelasan mengenai sejarah pemerintahan di keraton Yogyakarta, yang dijelaskan secara terperinci dari mulai awal pembentukan, perjanjian yang dilakukan Belanda sampai pada pergantian nama dari Pangeran Mangkubumi memakai nama Hamengkubuwono.
Gaya pembandingan yang di paparkan oleh penulis menurut pendapat saya melalui pembandingan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat dari cara pemaparan penulis yang memaparkan dari awal masa kolonial sampai pada terjadinya perubahan-perubahan sosial di Yogyakarta. Penulis memaparkan berbagai peristiwa, mulai dari peristiwa sejarah, pola interaksi sosial, keadaan fisik, dan budaya pada masyarakat setempat. Namun, penulis juga tidak melupakan setiap pandangan-pandangan (sudut pandang) dari informan. Ini yang menjadikan penelitian yang dilakukan penulis relevan dengan situasi yang ada di masyarakat, dari awal mula (asal-muasalnya) sampai mengalami perubahan-prubahan sosial di masyarakat Yogyakarta.
Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki sumber rujukan di dalamnya, baik untuk memperkuat gagasan maupun sebagai sumber argumen yang akan di paparkan di dalamnya. Dalam “Perubahan Sosial di Yogyakarta” tinjauan pustaka digunakan sebagai konsep dan landasan teori yang untuk memperkuat gagasan yang dipaparkan oleh penulis. Kemudian, juga sebagai acuan untuk memperkuat penelitian di dalam tulisan ini. Berikut beberapa tinjauan pustaka yang digunakan Selo Soemardjan, diantaranya adalah sebagai berikut;
Thomstein Veblen, The Theory of the Closs (New York: Viking Press, Inc., 1922). Tinjauan pustaka ini digunakan sebagai konsep di dalam menjelaskan perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Ini juga digunakan sebagai penunjang argumen penulis (unsur-unsur etik) di dalam penelitiannya. Tinjauan pustaka ini juga menjelaskan mengenai penyebab perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Seperti yang di kutip dalam ulasan teoritis (bagian kesimpulan), “penemuan-penemuan dan inovasi teknologis, apabila diterapkan dalam skala yang cukup besar, mungkin akan menimbulkan suatu tatanan  baru dalam kehidupan ekonomi dan dengan demikian bisa menimbulkan perubahan menuju apa yang disebut Veblen kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak”. Tidak hanya itu, penulis juga menggunakan tinjauan pustaka Robert M. Maclver dan Charles H. Page, dalam Society: An Introductory Analysis (New York: Rinehart and Company, Inc., 1949) yang dijadikan bahan acuan di dalam penelitiannya, yang di dalamnya lebih memaparkan tentang perubahan sosial, lebih tepatnya faktor-faktor perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Ini jelas sangat mendukung serta menunjang bagi penelitian yang ia lakukan. Penulis juga menggunakan konsep “Pelopor perubahan (agents of change) yang digunakan oleh peneliti lain dalam arti yang berlainan” Norman F. Washburne, dalam interpreting social Change in America (Garden City, N.Y.: Doubleday and Company, 1954). Bahwa perubahan sosial memerlukan penyesuaian kembali struktur kelembagaan lainnya.
Di dalam tulisan “Perubahan Sosial di Yogyakarta” dideskripsikan juga kepercayaan atau keyakinan tentang cerita rakyat, yang memiliki keterkaitan dengan sistem politik yang ada di masyarakat setempat. Cerita rakyat tersebut sampai sekarang masih berlangsung dan ada di masyarakat. Kepercayaan yang dianut masyarakat setempat adalah mengenai sistem pemerintahan, bahwa yang memimpin selanjutnya harus dari atau turunan asli Sultan Hamengkubuwono. Ini yang menjadi kepercayaaan masyarakat setempat. Masyarakat setempat juga mempercayai adanya kekuatan magis. Masyarakat setempat mempercayai adanya kekuatan magis pada pusaka-pusaka tertentu dalam istana Sultan (tombak, keris atau panji) yang menjadikan seorang Sultan berhak memerintah. Bahkan ada kepercayaan bahwa tanpa adanya itu semua seorang sultan tidak akan bisa memperoleh kepercayaan dan kesetiaan rakyat, sehingga dengan demikian ia tidak dapat memerintah kerajaan.
Hal tersebut disebut sebagai foklor, sebagaimana yang terdapat di dalam tulisan ini, yaitu ada suatu tradisi yang diturunkan secara turun-temurun. Kemudian hal tersebut dijadikan pedoman di dalam sistem masyarakat setempat dan memiliki nilai-nilai secara turun-temurun. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan “Pangeran Mangkubumi akan memakai nama Hamengkubuwono dan hanya keturunan sahnya yang berhak menduduki tahta kerajaan”.[4] Walaupun demikian, rakyat sangatlah patuh akan perintah-perintah yang diutarakan pemimpinnya (Sultan), sehingga Belanda memanfaatkan situasi seperti ini, yaitu memperdaya yang pada saat itu menjadi Sultan untuk menjalankan misi-misinya. Dengan menempatkan Sultan tetap pada posisinya, namun dibawah pengawasannya.  Hal ini dimaksud supaya memberi kesan kepada rakyat, bahwa mereka masih diperintah oleh raja mereka sendiri, karena pada saat itu Belanda mengetahui kepatuhan rakyat terhadap penguasanya, sehingga dapat dikatakan bahwa sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa identik dengan sejarah para penguasanya.
Sistematika di dalam buku yang di tulis oleh Selo Soemardjan mengenai “Perubahan Sosial di Yogyakarta” di tulis secara terperinci. Yaitu di awali dengan pemaparan daerah Yogyakarta itu sendiri yang dipaparkan pada bagian awal, yang terdiri dari; pembagian wilayah pemerintahan dan penduduk. Kemudian pada bagian kedua dipaparkan mengenai masa pemerintahan Yogyakarta di bawah rezim Belanda. Bagian ketiga memaparkan masa pendudukan Jepang. Bagian keempat, memeparkan Yogyakarta sejak kemerdekaan. Bagian kelima, tentang pemerintahan dan masyarakat sejak kemerdekaan. Bagian selanjutnya yaitu memaparkan tentang perubahan-perubahan sosial yang terjadi, dimulai dari pembangunan ekonomi sampai pada pendidikan yang merupakan salah satu pemicu perubahan sosial. Hal ini menjadikan sistematika di dalam buku “Perubahan Sosial di Yogyakarta” terperinci, karena penulis memaparkan dari awal pemerintahan yaitu pada masa kolonial sampai terjadinya perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.


[1] Hlm 6
[2] Hlm 7
[3] Hlm 8
[4] Hlm 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar