kursor berjalan

Senin, 02 Januari 2012

FUNGSI MANIFEST PENDIDIKAN (Pendidikan Sebagai Agen Kontrol Sosial)

BAB I
PENDAHULUAN



Latar Belakang
Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang berperan penting di dalam penyaluran bakat-bakat setiap individu, dimana di dalam pendidikan terdapat fungsi-fungsi yang akan mengarahkan individu pada kedewasaan baik secara fisik maupun mental. Selain itu, tujuan dari pendidikan itu bukan saja pada pemberian materi-materi sebagai landasan pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan mempengaruhi perkembangan intelektual anak saja tetapi juga harus mengarah pada pembentukan moral dari peserta didik tersebut. Dalam hal ini, peran sekolah khususnya peran pendidik (guru) sangatlah berpengaruh untuk tercapainya tujuan dari pendidikan tersebut.
 Pada perkembangannya, pendidik (guru) bukan lagi sepenuhnya aktif di dalam kelas tetapi sistem sekarang telah mengarahkan, bahwa pendidik sebagai fasilitator, artinya proses pembelajaran sepenuhnya yang aktif siswanya, pendidik hanya memfasilitasi, mengarahkan dan memotivasi. Hal ini bertujuan agar proses belajar mengajar dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan, serta terjadi kondisi belajar yang efektif di dalam kelas.
Didakam hal ini, pendidikan berfungsi sebagai agen kontrol sosial, dimana didalam menjalankan fungsinya sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu mengontrol (mengendalikan) para peserta didik untuk menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Setiap sekolah mempunyai program yang berbeda-beda tetapi mengacu pada kurikulum yang sama meskipun pada kenyataannya setiap guru diberikan kewenangan untuk menyusun program belajarnya sendiri yang disesuaikan dengan keadaan daerahnya seperti yang tertera di dalam kurikulum 2004 bahwasanya: “guru diberikan kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah[1]”. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa setiap sekolah diberikan kewenangannya masing-masing di dalam menyusun program-program yang akan dicapai. Baik di pedesaan maupun diperkotaan pada dasarnya fungsi pendidikan sama mungkin yang membedakan hanya pada lingkungan dan cara sosialisasinya saja.
Menurut Robert Dreeben berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah, di samping membaca, menulis dan berhitung – adalah aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity)[2]. Dengan demikian, sekolah sangat berperan penting di dalam proses sosialisasi, sekolah juga yang merupakan lembaga pendidikan, dimana di dalam pendidikan memiliki fungsi sebagai kontrol sosial. Kontrol sosial merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku[3]. Dalam hal ini tentunya lebih menekankan pada pengendalian terhadap siswa, dengan adanya pengendalian sosial yang baik dari pihak sekolah diharapkan mampu meluruskan para siswa yang berperilaku menyimpang / membangkang. Tetapi apakah sekolah mampu menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial ? Hal ini tentu perlu ditinjau kembali, dan harus ada kerjasama yang baik antara sekolah dengan para siswa disekolah tersebut, serta pihak-pihak lain yang terkait.

Identifikasi Masalah
Pendidikan saat ini semakin mengalami kemajuan dan perkembangan berpengaruh juga pada perkembangan peserta didik. Dimana metode maupun sarana dan prasarananya semakin mengarah lebih baik seiring perkembangan tersebut. Disini yang akan kita soroti adalah pada pendidikan di perkotaan, dimana di dalam pendidikan di perkotaan mungkin akan memiliki perbedaan-perbedaan, seperti misalnya masalah kelengkapan sarana dan prasarananya serta fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya. Kelengkapan tersebut tidak menjamin berhasilnya proses belajar mengajar, karena proses belajar mengajar tidak hanya di dukung oleh kelengkapan dari sarana dan prasarana saja tetapi juga dari metode yang diberikan serta dari ke aktifan peserta didik. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan sebagai pembentukan kemampuan intelektual saja tetapi juga mengarah pada pembentukan moral. Banyak kasus tentang kenakalan remaja (pelajar) yang sering kita jumpai pada media-media, ini akibat kurangnya penanaman moral baik dari keluarga maupun sekolah.
Usia remaja merupakan usia yang sangat rentan, dimana pada usia-usia tersebut keingin tahuannya sangat tinggi, ini bisa membahayakan apabila tidak adanya bimbingan sebagai pedoman untuk mengarahkan, kearah yang baik. Peran orang tua dan sekolah saja tidak cukup untuk hal tersebut, karena ada satu lagi yang pengaruhnya sangat besar yaitu teman sepermainan. Teman sepermainan merupakan agen sosialisasi yang besar pengaruhnya di dalam pembentukan kepribadian anak. Seperti contoh kasus tawuran  yang terjadi di SMP 79 Kemayoran, Jakarta Pusat. Berawal dari saling ejek antara pelajar SMP 79 dengan SMP 269 di jalan Angkasa Ujung, Kemayoran, Jakarta Pusat pada senin 12 September 2011 sekitar pukul 15.30 WIB[4]. Dari contoh kasus tersebut, dapat dambil kesimpulan bahwa rasa solidaritas terhadap teman sangat tinggi sehingga permasalahan antara individu dapat menjadi permasalahan bagi sebuah kelompok akibat dari tingginya rasa solidaritas antara anggota kelompok, sementara mereka belum bisa membedakan hal-hal yang seharusnya dilakukan/dicarikan solusinya, yang menyebabkan terjadinya tawuran antar kelompok/pelajar.


Pembatasan Masalah
Salah satu peran sekolah seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasanya sekolah harus mampu menjadi pengendali/kontrol sosial, dimana setiap sekolah harus mampu mengendalikan para siswanya untuk berperilaku sebagaimana mestinya. Didalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial apakah sekolah telah mampu menjadi pengendali bagi para siswanya ? Dalam hal ini tentu mengacu pada pengendalian terhadap siswa terutama siswa yang terlibat masalah tawuran yang sering kita jumpai pada pelajar-pelajar di perkotaan. Dimana di perkotaan sarat akan terjadinya tawuran, terutama antar pelajar. Kenapa tawuran antar pelajar lebih sering terjadi di perkotaan? Sebenarnya apa yang menyebabkan terjadinya tawuran tersebut ? Bagaimana peran sekolah sebagai lembaga  pendidikan dalam menangani tawuran?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin yang akan terlontar di benak kita, karena pada dasarnya lembaga pendidikan (sekolah) mempunyai tujuan yang sama yaitu salah satu fungsinya adalah sebagai pengendali, pengendali disini merupakan  segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku ( Soerjono Soekanto,2000)[5]. Dari pengertian tersebut telah jelas bahwa sekolah juga mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mengontrol/mengendalikan para siswanya agar tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku, sehingga akan tercipta kondisi yang aman, nyaman dan harmonis. Hal seperti ini sulit di terapkan jika tidak adanya kerjasama diantara anggota-anggota yang terkait, dalam hal ini anggota-anggota yang terkait tersebut adalah dari pihak sekolah, para siswa, orang tua serta peraturan yang jelas. Peraturan disini juga harus jelas, karena peraturan-peraturan yang telah di tentukan merupakan suatu bentuk konkret dari norma-norma yang ada di sekolah.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat kita ambil adalah, yang pertama kita lihat peran sekolah sebagai lembaga pendidikan, apakah sudah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Disini mungkin peran sekolah sebagai pengendali/kontrol sosial. Kita dapat merumuskan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana peran sekolah di dalam mencegah terjadinya tawuran?
2.      Apabila kita telaah lebih jauh, kenapa tawuran antar pelajar sering terjadi di perkotaan?
3.      Apa yang melatarbelakangi terjadinya tawuran?
4.      Pihak-pihak mana sajakah yang terkait dalam mengatasi tawuran antar pelajar?

Teori dan Konsep
Jika kita kaji menurut sudut pandang sosiologi tentang tawuran, bahwasanya tawuran merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosioal. Menurut James W. Van der Zanden penyimpangan perilaku merupakan tindakan yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi[6].
Pada dasarnya fungsi sekolah bukanlah untuk membentuk atau mendidik individu (peserta didik) kearah penyimpangan tetapi lebih mengarahkan mereka pada penyampaian pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda, mengurung anak-anak di satu kompleks selama sekitar beberapa jam, sehingga tidak merepotkan orang tua atau membahayakan lalulintas, saling mmpertemukan orang yang sebelumnya tidak dikenal, membuat orang mengalami beberapa pengaruh yang berperan untuk membentuk kepribadian mereka dan lain-lain. Juga tidak dilupakan akan adanya hal-hal negatif yang timbul dari suatu fenomena sosio-budaya yang mungkin tidak disadari orang adalah termasuk dalam konsep ”fungsi”. Misalnya, suatu sistem pendidikan tertentu dapat mengakibatkan tertundanya proses pendewasaan para remaja, menghambat pemikiran individual, mengakibatkan ketergantungan yang lebih lama atau suatu kultus guru yang berlebih-lebihan[7]. Disini jelas bahwa sekolah mempunyai fungsi-fungsi tertentu seperti yang telah disebutkan diatas. Jika dikaitkan dengan teori struktural fungsional bahwa sekolah merupakan suatu sistem yang teratur, teori struktural fungsional menyebutkan bahwa fungsi sekolah itu mengutamakan keteraturan sosial. Keteraturan disini adalah bahwa sekolah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Didalam struktural fungsional selalu beranggapan bahwa masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatis, dan gangguan pada salah satu bagian cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas[8]. Tetapi pada kenyataannya, masyarakat tidak selalu dalam keadaan keseimbangan, seperti dalam kasus tawuran, tawuran adalah suatu bentuk penyimpangan yang terjadi karena tidak tercapainya fungsi sekolah sebagai pengendali, akibatnya terjadi disfungsional awal dari terjadinya konflik. Dibawah ini adalah gambaran dari yang telah dipaparkan:









BAB II
PEMBAHASAN


Definisi Tawuran
Tawuran merupakan perilaku menyimpang yang di lakukan oleh sekelompok orang maupun sekelompok pelajar, seperti yang di sebutkan oleh Soerjono Soekanto tentang deviant yang di integrasikan dengan kasus tawuran antar pelajar, dalam teorinya ia menyebutkan bahwa deviation adalah penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Serta melihat relevansi teori konflik Lewis Coser yang menyatakan konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk memperjuangkan nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka pada kelompok lain[9].
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa tawuran merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai persatuan, karena tawuran dapat menyebabkan disintegrasi, dan ini sangat tidak sesuai dengan dasar Negara Indonesia yaitu pancasila tepatnya pada sila ke-3 yang berbunyi: “Persatuan Indonesia”. Dengan demikian tawuran bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan melainkan suatu bentuk penyimpangan yang harus dihilangkan, agar nilai persatuan dan kesatuan antar golongan terwujud sehingga terjadi integrasi didalamnya.

Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anaknya
Keluarga merupakan agen sosialisasi primer, karena pertama kali seorang anak berinteraksi yaitu dengan keluarga, di dalam interaksi ini akan terjadi sosialisasi nilai-nilai yang kemudian akan terinternalisasi oleh anak. Peran keluarga sangat berpengaruh tehadap pembentukan kepribadian anak, dimana seorang anak akan meniru apa yang ia lihat. Penanaman nilai-nilai dari keluarga merupakan suatu fondasi awal bagi anak didalam mengenal tata cara dan aturan-aturan yang ada dimasyarakat, biasanya nilai-nilai yang diperkenalkan pertamakali didalam lingkungan keluarga adalah nilai-nilai agama, sopan santun dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut yang kemudian terinternalisasi didalam diri anak. Tetapi perlu di ingat juga bahwa selain keluarga juga ada lingkungan dan teman sepermainan yang berpengaruh terhadap pola pikir anak.
Peran keluarga (orang tua) disini sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak, keluarga sebagai jembatan untuk mensosialisasikan nilai-nilai, karena keluarga memiliki peran. Peran disini merupakan aspek dinamis kedudukan atau status. Artinya peran adalah suatu perikalu yang diharapkan oleh pihak lain dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan status yang dimilikinya, karena tidak ada peran tanpa status begitupula sebaliknya[10]. Dengan demikian keluarga memiliki tanggung jawab didalam mengarahkan anaknya kearah yang benar. Dibawah ini akan diuraikan bagan tentang proses sosialisasi yang berpengaruh terhadap kepribadian anak, yaitu sebagai berikut:
 








                                                                                                                                                                                       
                                                                                                                      sumber: hasil olahan sendiri

Dari bagan diatas bahwa keluarga dan sekolah mensosialisasikan nilai kepada anak yang selanjutnya akan terinternalisasi, sementara teman sepermainan, lingkungan dan media massa merupakan agen sosialisasi yang mempengaruhi. Apabila kita mengacu pada kasus tawuran antar pelajar, seperti yang telah disebutkan diatas, bahwasannya terjadinya tawuran didasari atas rasa solidaritas terhadap teman sepermainan, rasa solidaritas tersebut yang menyebabkan perseteruan antar kelompok. Dari data yang didapat dan melalui informasi dari media, bahwa tawuran sering terjadi di perkotaan, penyebabnya karena kurangnya pengawasan dari keluarga, lingkungan yang kurang baik, serta media massa yang mempertontonkan hal-hal yang berdampak negatif, sementara anak pada usia remaja kurang bisa didalam mengontrol kehendaknya.

Peran Sekolah Dalam Mengatasi Tawurann
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tentu sangat berperan di dalam mengawasi para siswanya, karena itu merupakan suatu kewajiban sekolah sebagai agen kontrol sosial. Dimana didalam tujuan yang terkadung dalam kontrol sosial adalah penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku, sehingga para siswa tidak terlibat dalam perilaku-perilaku yang menyimpang, karena tujuan dari pendidikan adalah harus adanya keseimbangan antara intelektual dengan spiritual. Seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR No.IV/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menyatakan: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”[11]. Dari yang telah disebutkan diatas, jelas bahwa “tawuran” bukan merupakan karakter dari bangsa Indonesia.
Disini sekolah juga merupakan salah satu agen sosialisasi yang sangat berperan penting di dalam pembentukan kepribadian anak, melalui sekolah ia dapat menemukan hal-hal baru yang tidak di temukan pada keluarga dan teman sepermainan. Dimana, sekolah lebih mempersiapkannya untuk peran-peran baru dimasa mendatang, selain itu sekolah juga memperkenalkan nilai-nilai seperti penanaman rasa tanggung jawan, kemandirian, dan lain-lain yang bertujuan agar anak dapat menemukan perannya saat tidak lagi bergantung pada orang tua.
Peran sekolah di dalam mencegah terjadinya tawuran yaitu dengan lebih menekankan pada pembentukan karakter yang berasaskan pada persatuan dan kesatuan, berbudi pekerti baik dan penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma. Tetapi pada kenyataannya mungkin tujuan tersebut sulit untuk dicapai kalau tidak adanya kerjasama antara sekolah, orang tua dan para siswanya. Karena sekolah merupakan suatu wadah untuk menjembatani individu didalam mencapai cita-citanya, sedangkan untuk tercapainya suatu tujuan-tujuan diatas dikembalikan lagi pada individu masing-masing. Dibawah ini adalah beberapa solusi untuk mencegah terjadinya tawuran, yaitu sebagai berikut:
1.    Sekolah menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial
2.    Sanksi tegas terhadap siswa yang terlibat tawuran, bila perlu pihak sekolah mengeluarkan (DO) pada siswa yang terlibat tawuran
3.    Sekolah mengadakan bimbingan-bimbingan yang bertujuan membentuk karakter baik pada diri para siswa (pendidikan karakter)
4.    Sekolah bekerjasama dengan para orang tua (wali murid), untuk selalu mengawasi anak
Dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, sebenarnya sekolah khususnya pendidik (guru) harus mengacu pada fungsi yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan hendaknya menjadi contoh/teladan (ing ngarso sun tulodo), menjadi penggerak (ing madyo mangun karso) dan mengikuti sambil mengawasi dari belakang (tut wuri handayani)[12].

BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah di uraikan bahwa sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang berperan penting di dalam penyaluran bakat-bakat setiap individu, dimana di dalam pendidikan terdapat fungsi-fungsi yang akan mengarahkan individu pada kedewasaan baik secara fisik maupun mental. Selain sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berperan didalam menyalurkan bakat-bakat, pendidikan juga berfungsi sebagai agen kontrol sosial, dimana didalam menjalankan fungsinya sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu mengontrol (mengendalikan) para peserta didik untuk menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sekarang ini, pendidikan mengalami banyak sekali kemajuan yang berpengaruh pada perkembangan peserta didik. Jika kita lihat pendidikan di perkotaan, tentu sangat jelas berbeda dengan pendidikan di pedesaan. Dari segi sarana dan prasarana serta fasilitas. Tapi itu tidak menjamin berhasilnya proses belajar mengajar. Seperti yang telah disebutkan, tujuan pendidikan tidak hanya dalam segi intelektualnya saja tapi juga mengarah pada pembentukan moral. Jika kita kaji menurut sudut pandang sosiologi tentang tawuran, bahwasanya tawuran merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma. Untuk itu pendidikan harus mampu menekankan pada pembentukan karakter yang berasaskan pada persatuan dan kesatuan, berbudi pekerti baik dan penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma.
Peran sekolah di dalam mencegah terjadinya tawuran yaitu dengan lebih menekankan pada pembentukan karakter yang berasaskan pada persatuan dan kesatuan, berbudi pekerti baik dan penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma.
Saran
Saran yang ingin kami sampaikan berkaitan dengan masalah kenakalan ramaja khususnya pada tawuran antar pelajar, agar semua agen sosialisasi dapat bekerjasama dalam proses pensosialisasian pada para remaja yang pada hakekatnya remaja itu berada dalam kondisi yang rentan, rentan disini maksudnya adalah bahwa usia remaja rasa keingintahuannya tinggi sementara ia belum bisa mengontrol dirinya sendiri. pada saat ini remaja harus di bimbing agar tidak terjerumus pada hal-hal yang berdampak negatif. Padahal usia remaja merupakan usia yang masih tinggi daya ingatnya sehingga ia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Jika hal tersebut di bina dengan baik dapat menjadi point positif baginya.
Dalam kaitannya dengan masalah tawuran antar pelajar, pihak sekolah dan keluarga harus bekerja sama dalam menanganinya. perlu diadakannya bimbingan-bimbingan yang memberikan motivasi pada siswa, agar siswa tremotivasi untuk belajar atau melakukan kegiatan-kegiatan yang positif dari pada melakukan hal-hal negatif yang dapat merugikan bahkan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Kegiatan-kegiatan ekstrakulilikuler di sekolah juga dapat memberikan nilai positif bagi siswa, karena dengan mengikuti ekstrakulikuler siswa memiliki kegiatan yang mengurangi aktifitas-aktifitas yang hanya dapat memberikan nilai negatif pada dirinya sendiri.  










DAFTAR PUSTAKA

Sumber Bacaan:
Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis
Meilanie, Sri Martini. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Nazsir, Nasrullah. 2009. Teori-teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran
Soekanto, Soerjono. 2009. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers


Sumber Lain:



[1] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Hlm 4
[2] Kun Maryati, Juju Suryawati. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis, 2007. Hlm 106
[4] Diakses melalui http://ohayou-wi.blogspot.com/2011/10/tugas-3ilmu-sosial.html. Pada 6 Desember 2011, pukul 20.35 WIB
[5] Diakses melalui http://psychemate.blogspot.com/2007/12/kontrol-pengendalian-sosial.html. Pada 3 Desember 2011, pukul 20.05 WIB
[6] Kun Maryati, Juju Suryawati. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta: Esis, 2007. Hlm 121

[7] Nasrullah Nazsir.Teori-teori Sosiologi. Bandung:Widya Padjajaran,2009.Hlm 11
[8] Ibid, hlm. 10
[9] Diakses melalui http://adeadhari.blogspot.com/2011/05tawuran-dalam-sudut-pandang-hukum-dan.html. Pada 6 Desember 2011, pukul 20.30 WIB
[10] Kun Maryati, Juju Suryawati, op.cit., hlm. 70.
[11] Sri Martini Meilanie. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK). 2009. Hlm 66
[12] Ibid, hlm. 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar